Oleh : Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H.
Sebenarnya wacana Pilkada atau pemilihan kepala daerah oleh DPRD sudah lama mengemuka. Bahkan ketika proses pembentukan RUU Pilkada pada tahun 2014, tepatnya di akhir penghujung kekuasaan Presiden SBY terdapat dua opsi, yakni Kepala Daerah dipilih melalui DPRD dan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Dan pada waktu itu opsi Kepala Daerah dipilih melalui DPRD disepakati sebagai opsi yang dipilih. Meskipun kesepakatan tersebut dilalui melalui proses voting.
Pada waktu itu Presiden SBY sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat (AS). Setelah SBY pulang ke tanah air, Presiden langsung mengesahkan dan mengundang RUU Pilkada di mana Pilkada dipilih melalui DPRD, tetapi pada saat hampir bersamaan Presiden SBY juga mengeluarkan Perppu untuk membatalkan RUU Pilkada yang telah disahkan dan diundangkan itu sekaligus memberlakukan sistem Pilkada langsung oleh rakyat.
Secara konstitusional, Perppu hanya bersifat sementara dan setelah itu Perppu tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR. Jika tidak mendapatkan persetujuan DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut. Pada waktu itu, DPR menyetujui Perppu tersebut, meskipun dengan beberapa catatan.
Jika kita melihat pada rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis,” maka ada dua tafsir yang dapat kita ajukan di sini. Pertama, frasa “dipilih secara demokratis,” mengandung makna kalau Kepala Daerah, baik itu Gubernur, Bupati dan Walikota tidak harus dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal ini berbeda dengan pemilihan Presiden/Wapres, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Oleh karena itu, apakah Kepala Daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat atau dipilih melalui DPRD, kedua-duanya sama-sama konstitusional. Dengan demikian, pilihan model pemilihan kepala daerah tergantung pada kehendak politik pembentuk UU (open legal policy). Tafsir kedua adalah bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 hanya mengamanatkan agar daerah hanya dipimpin oleh Kepala Daerah saja, tanpa ada Wakil Kepala Daerah.
Pertanyaannya apakah pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD benar-benar bisa terealisasikan ? Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu alasan kenapa Pilkada harus dilakukan melalui DPRD karena salah satunya terkait dengan anggaran. Anggaran Pilkada memang sangat besar, karena biayai demokrasi memang sangat mahal. Sebenarnya terkait dengan yang memakan biaya besar bukan hanya Pilkada secara langsung oleh rakyat, tetapi juga biaya pemilu secara keseluruhan.
Bahkan ada wacana agar Pemilihan Presiden dan/Wakil Presiden dikembalikan seperti masa Orde Baru, yakni dipilih oleh MPR. Alasan yang sama juga digunakan dalam rangka untuk mengembalikan Pemilihan Presiden dan/Wakil Presiden oleh MPR, yakni terkait dengan biaya yang besar. Biaya yang besar untuk membiayai Pilpres dan Pilkada secara langsung oleh rakyat itu bisa digunakan untuk hal lain, yakni terkait dengan program kesejahteraan rakyat. Begitu kata para pihak yang menginginkan agar Pilpres dan Pilkada tidak dipilih langsung oleh rakyat.
Bagaimanapun juga UU itu merupakan produk politik, artinya alasan politik dalam melakukan suatu pilihan kebijakan yang kemudian tertuang dalam UU, bukan sekedar terkait dengan besarnya anggaran dalam pembiayaan Pilkada secara langsung oleh rakyat.
Namun, terkait dengan kepentingan politik secara keseluruhan dari tiap-tiap parpol. Pertanyaan sekarang adalah apakah dengan adanya pemilihan kepala daerah oleh DPRD, maka parpol akan sangat diuntungkan, karena merekalah yang akan menjadi penentu siapa yang menjadi kepala daerah ? Jawabannya belum tentu.
Bicara mengenai Pilkada tidak lepas dari konstelasi politik di daerah, yang bisa berimbas pada konstelasi politik nasional. Sekarang ini kita dapat melihat bahwa bagaimana agar Calon Kepala Daerah yang berkontestasi di daerah dan diusung oleh rezim yang berkuasa saat ini agar memenangkan kontestasi. Kita ambil contoh, Pilkada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya.
Pemerintah pusat sangat berkepentingan agar garis kebijakan di daerah selaras dengan garis kebijakan di pusat. Oleh karena itu, Presiden akan sangat berhitung apakah wacana Pilkada oleh DPRD itu lebih menguntungkan atau merugikan Presiden.
Apakah dengan adanya Pilkada melalui DPRD, maka Presiden bisa mendesign agar hanya “orang-orangnya,” yang akan menjadi Kepala Daerah, sehingga garis kebijakan di daerah akan selaras dengan garis kebijakan di pusat.
Jika dalam hitungan politik, Presiden sulit untuk melakukan design politik agar hanya “orang-orangnya” yang akan menjadi Kepala Daerah, maka dapat dipastikan wacana Pilkada melalui DPRD hanya sekedar wacana.
Ada alasan lain yang membuat Prabowo sulit untuk merealisasikan wacana Pilkada dipilih oleh DPRD. Jika Prabowo merealisasikan keinginannya agar Pilkada dipilih melalui DPRD, maka bagaimana dengan nasib anggota KPU dan Bawaslu Provinsi, Kabupaten dan Kota ? Publik sudah bisa menilai bagaimana Prabowo dalam melakukan politik balas budi sekaligus akomodasi terhadap banyak orang yang dianggap berjasa padanya.
Kementerian yang seharusnya bisa dibentuk dengan struktur yang ramping tapi kaya fungsi, menjadi gemuk dalam rangka untuk mengakomodasi orang-orang yang berjasa pada Prabowo. Bahkan Prabowo rela untuk membentuk badan-badan setingkat Kementerian demi untuk mengakomodasi orang yang telah berjasa itu.
Melihat pada realitas politik yang demikian itu, apakah Prabowo akan tega untuk “membubarkan,” KPU dan Bawaslu Daerah baik Provinsi, Kabupaten dan Kota ? KPU dan Bawaslu di daerah mungkin tidak akan bubar, tetapi akan berubah menjadi lembaga ad hoc yang hanya bekerja ketika Pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD diselenggarakan.
*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya (UNESA).