Oleh : Denny JA
“Ajaran agama kini seperti sungai-sungai yang saling bertemu di delta teknologi. Kita dihadapkan pada satu pilihan: tetap tersekat di tepian, atau berenang menuju samudra esensi yang tak lagi mengenal batas.”
Kutipan ini adalah cermin zaman. Di era Artificial Intelligence (AI), ajaran-ajaran spiritual yang dahulu terfragmentasi oleh tradisi, budaya, dan geografi kini mengalir bebas melalui teknologi.
Delta itu adalah ruang baru yang mendekatkan kita pada kebenaran universal, yang lebih tua dari kitab suci dan lebih murni dari dogma.
Namun, samudra ini juga adalah ujian: apakah kita tetap berpegang pada tepian sempit keyakinan eksklusif, atau berani menyelam ke kedalaman spiritualitas yang tak mengenal batas?
Teknologi adalah penggerak revolusi ini. Dengan satu klik, kitab dari berbagai agama dapat kita baca, ajaran para nabi dapat kita dengar, dan doa-doa lintas keyakinan dapat kita hayati.
Sekat-sekat yang dulu memisahkan kini menjadi transparan. Dalam kebebasan ini, spiritualitas tidak lagi tentang klaim kebenaran absolut, melainkan tentang pencarian esensi, prinsip kasih, harmoni, dan kebijaksanaan yang sama di setiap tradisi.
Spiritualitas di era ini menunjukkan beberapa kecenderungan baru. Hadir 4200 agama dan kepercayaan yang ada di dunia.
Ini sebuah bukti bahwa manusia, sejak awal keberadaannya, tak pernah berhenti mencari makna hidup. Beragamnya jalan menuju kebenaran adalah pengingat bahwa kebenaran itu sendiri tidak pernah tunggal.
Teknologi, dengan jangkauannya yang luas, mempertemukan jalan-jalan tersebut dalam kesadaran baru: semua pencarian mengarah pada tujuan yang sama, yang lebih besar dari kata-kata dan ritual.
Dalam kebebasan ini, kelompok Non-Affiliated muncul sebagai salah satu pencarian spiritual paling dinamis. Mereka menolak struktur tetapi tidak kehilangan kerinduan akan makna.
Kini mereka yang menolak terafiliasi pada agama apapun menjadi penganut terbesar ketiga setelah Kristen dan Islam.
Ini bukan penolakan terhadap agama, melainkan pelepasan dari belenggu eksklusivitas, memberi ruang bagi kebebasan hati untuk merayakan spiritualitas di luar institusi.
Pada saat yang sama, biologi dan arkeologi membuka cerita manusia yang jauh lebih tua dari kisah kitab suci. Adam dan Hawa bukanlah kisah historis, melainkan simbol yang tak lekang oleh waktu.
Sains, alih-alih mematahkan spiritualitas, justru membuka pintu baru untuk mengagumi kehidupan dalam dimensi yang lebih dalam.
Hak asasi manusia pun semakin meluas. Setiap individu memiliki kebebasan meyakini apa pun, sejauh tidak melanggar hukum.
Ini adalah taman subur bagi dialog lintas iman, di mana bukan hanya toleransi yang tumbuh, tetapi juga penghormatan pada keragaman.
Teknologi menjadi katalis yang membantu kita melihat keindahan perbedaan tanpa merasa terancam oleh identitas orang lain.
Di sisi lain, ilmu pengetahuan seperti neuroscience dan psikologi positif kini mempelajari kebahagiaan secara ilmiah. Namun, spiritualitas tetap memberi jawaban yang tak bisa dijelaskan oleh data.
Sains menjawab bagaimana kita bisa bahagia; spiritualitas menjawab mengapa kita hidup.
Esoterika Forum Spiritualitas lahir sebagai jawaban dari arus baru ini. Di Indonesia, dengan segala keragamannya, forum ini menawarkan ruang lintas iman yang melampaui ritual formal agama.
Bahai, Ahmadiyah, Syiah, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Brahma Kumaris, hingga Penghayat Kepercayaan hadir bukan untuk membicarakan perbedaan, melainkan untuk menggali esensi yang sama.
Agama, dalam kebersamaan ini, menjadi puisi semesta. Sebuah ruang terbuka di mana dinding pemisah runtuh, menyisakan cinta, pengertian, dan kebijaksanaan kolektif.
Prinsip-prinsip Esoterika semakin menguatkan jalan ini. Persamaan kita sebagai Homo sapiens lebih tua dari agama.
Dilihat dari kelahiran nabinya, agama yang kini dominan baru muncul 1500- 3000 tahun lalu. Sementara homo sapiens sudah hidup sejak 300 ribu tahun lalu. Artinya agama yang kini dominan baru hadir satu persen di ujung sejarah homo sapiens.
Dalam 99 persen sejarah manusia, sebelum kitab ditulis, kita sudah hidup dalam kebersamaan, saling mencintai dan saling mengenal.
Agama adalah milik semua, bukan monopoli siapa pun. Ajarannya adalah cermin kerinduan universal untuk hidup dalam kasih dan makna.
Tafsir agama, seperti peta, memberi kita arah. Namun tafsir yang kita pilih menentukan langkah kita: apakah kita akan membebaskan atau membelenggu.
Tafsir yang selaras dengan cinta, keadilan, dan hak asasi manusia adalah kompas menuju cahaya yang sesungguhnya.
Dan akhirnya, kedalaman spiritual hanya bisa ditemukan dengan menyelami. Setiap agama memuat prinsip-prinsip kebajikan dan harmoni, dan semakin dalam kita menggali, semakin dekat kita pada kebenaran universal yang sama.
“Di tengah ribuan bintang yang terang, kita adalah cahaya kecil yang saling menyentuh. Esoterika adalah jalan menuju cahaya kolektif, di mana agama menjadi puisi semesta, dan manusia menjadi penyair yang mencintai setiap kata.”
Transcendental Unity of Religions, gagasan yang lahir dari pemikiran Frithjof Schuon di awal abad ke-20, menegaskan bahwa semua agama, meski berbeda dalam bentuk, ritus, dan simbol, mengalir menuju satu hakikat kebenaran yang sama.
Schuon, seorang filsuf sufi, melihat bahwa pada tingkat terdalam, setiap agama adalah pantulan cahaya yang satu, dinyatakan dalam beragam bahasa budaya dan waktu.
Realitas Absolut, yang disebut Tuhan, Brahman, atau Tao, adalah satu. Jalan yang ditempuh mungkin beragam, tetapi tujuannya sama: kesadaran tertinggi yang menyatukan manusia dengan yang transenden.
Simbol-simbol keagamaan bukanlah dinding yang memisahkan, melainkan jembatan menuju pemahaman esensi. Perbedaan tradisi adalah seperti sungai-sungai yang bermuara pada samudra yang sama.
Di sana, perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan dirayakan sebagai cara manusia memahami kebesaran yang tak terlukiskan.
Hari ini, soal makna dan kebahagiaan, penelitian dalam bidang positive psychology dan neuroscience semakin menegaskan bahwa hidup bermakna dapat dirumuskan secara lebih sistematis.
Saya sendiri merumuskannya dalam formula 3P + 2S: Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning, dan Spirituality.
Personal Relationship menjadi fondasi yang menjaga kita tetap terhubung dengan sesama dalam kasih dan pengertian.
Positivity adalah sikap batin yang memancarkan cahaya harapan di tengah tantangan hidup.
Passion memberi kita energi untuk berkarya dan mengejar apa yang benar-benar kita cintai.
Sementara itu, Small Winning adalah perayaan atas langkah-langkah kecil yang memberi kepuasan dan membangun momentum kebahagiaan.
Akhirnya, Spirituality adalah inti terdalam yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, sebuah realitas transenden yang menjadi sumber makna sejati.
Di era ini, prinsip Esoterika Forum Spiritualitas tidak hanya merangkul kebijaksanaan lintas tradisi, tetapi juga diperkaya oleh pemahaman ilmiah tentang kebahagiaan dan hidup bermakna.
Ini adalah zaman ketika spiritualitas, sains, dan teknologi tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, tetapi bersatu menuju satu tujuan: membawa kita menjadi manusia yang lebih utuh, penuh cinta, dan berbahagia dalam kesadaran tertinggi.
Era Artificial Intelligence bukan ancaman bagi spiritualitas. Justru ia adalah undangan bagi kita untuk mendaki lebih tinggi, melampaui permukaan dan ritual.
Teknologi mengingatkan kita bahwa di balik logika algoritma, ada ruang yang hanya bisa diisi oleh hati yang hening.
Spiritualitas, di tengah derasnya arus teknologi, adalah rumah tempat kita semua kembali.
Itu rumah di mana perbedaan nama, kitab, dan ritus melebur menjadi satu. Itu adalah kemanusiaan yang lahir dari cinta, berjalan dengan doa, dan kembali dalam keheningan semesta.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.