Oleh : Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H.
Meskipun usia DPR 2019-2024 dan pemerintahan Jokowi hanya tinggal 1 bulan, tetapi tidak menyurutkan Langkah mereka untuk melakukan Langkah strategis. Hal ini dapat kita lihat pada persetujuan bersama antara DPR RI dan Pemerintah terhadap dua UU strategis, yakni UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres. Achmad Baidowi sebagai Wakil Ketua Baleg DPR RI mengatakan bahwa meskipun umur mereka tinggal hitungan hari, tetapi mereka masih memiliki kewenangan legislasi.
Oleh karena itu, secara konstitusional langkah dari DPR RI dan Pemerintah dalam melakukan persetujuan bersama ini tetap sah, sehingga DPR RI dan Pemerintah tidak bisa disalahkan terkait dengan persetujuan bersama terhadap dua UU tersebut. Persoalannya meskipun tidak ada larangan dalam konstitusi untuk membentuk UU di penghujung masa jabatan mereka, tetapi pertanyaan kritis dari public terkait dengan proses pembentukan kedua UU yang terkesan kilat dan mengabaikan partisipasi public ini wajar mengemuka.
UU merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang strategis dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. UU merupakan produk hukum yang strategis dapat dilihat pada dua konteks. Pertama, hanya UU yang diperbolehkan untuk mengatur mengenai sanksi pidana yang bersifat kejahatan. Kedua, UU juga merupakan pengaturan terhadap kedudukan dan kewenangan terhadap lembaga negara secara terperinci.
Posisi UU yang strategis ini yang membuat syarat-syarat dalam pembentukannya menjadi lebih ketat dibandingkan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam proses pembentukan UU ini persoalan partisipasi publik harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai UU yang diberlakukan, pada waktu proses pembentukan tidak melibatkan partisipasi public yang bermakna.
Jika ada UU yang tidak melibatkan partisipasi public secara bermakna, maka dapat dipastikan, UU tersebut cacat secara formil. UU yang cacat secara formil akan memengaruhi seluruh materi dari UU yang bersangkutan. Dengan demikian, jika ada UU yang diuji secara formil di MK dan MK mengabulkan permohonan pengujian formil tersebut, maka UU yang diuji tersebut menjadi batal secara keseluruhan. Bukan hanya Pasal per Pasal sebagaimana dalam pengujian materiil.
Achmad Baidowi mengatakan bahwa, UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres tidak begitu melibatkan partisipasi publik karena konsep partisipasi publik ini tidak jelas pada penerapannya. Apakah partisipasi publik ini dilakukan pada tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau pengundangan? Pertanyaan dari Achmad Baidowi ini memang aneh, karena persoalan partisipasi public telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2022.
Pasal 96 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2022 menyatakan “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Oleh karena itu, masyarakat dapat memberikan masukan baik pada tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Harusnya ketika terjadi kritik terkait dengan proses pembentukan kedua UU tersebut yang tidak melibatkan partisipasi public, DPR dan Pemerintah tidak melanjutkan proses pembentukan kedua UU tersebut dalam pembahasan Tingkat II.
Kalau dilihat pada proses pembentukan kedua UU ini tidak beda jauh dengan proses revisi UU Pilkada. Hanya pada proses revisi UU Pilkada tidak dilanjutkan oleh DPR dan Pemerintah, karena mendapat kritik berupa demonstrasi besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Apakah bentuk partisipasi publik itu harus berupa demonstrasi besar-besaran agar pembentuk UU benar-benar mendengarkan aspirasi publik?
Tentu terdapat konteks yang berbeda antara UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres dengan revisi UU Pilkada. Kemarahan public terhadap rencana DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Pilkada, karena DPR dan Pemerintah berupaya untuk menolak putusan MK yang oleh public dianggap sebagai putusan yang progresif dan responsive. Sedangkan proses terhadap UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres tidak diawali dengan peristiwa hukum sebelumnya, seperti putusan MK.
Meskipun demikian, tentu ada pertanyaan lainnya. Mengapa pembentuk UU berusaha untuk “menolak” partisipasi public dalam proses pembentukan UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres ? “Penolakan” dari pembentuk UU untuk melibatkan partisipasi public pasti sangat berkaitan dengan substansi dari kedua UU tersebut.
Sebagaimana kita ketahui ada beberapa isu krusial terkait dengan substansi dari kedua UU ini. Isu krusial dari UU Kementerian Negara terkait dengan jumlah Menteri yang tidak dibatasi lagi seperti UU sebelumnya yang dibatasi maksimal 34 Kementerian.
Dalam UU ini terkait jumlah Kementerian akan diserahkan sepenuhnya kepada Presiden. Hal ini menjadi persoalan karena ini terkait dengan isu bagi-bagi kekuasaan oleh elite politik. Jika seluruh parpol ditarik dalam cabinet Prabowo-Gibran, maka dapat dipastikan tidak akan terjadi perimbangan kekuasaan yang dilakukan oleh DPR.
Isu krusial dari UU Wantimpres ini juga mirip dengan isu krusial dalam UU Kementerian Negara, yakni jumlah anggota Wantimpres yang sebelumnya hanya berjumlah 8 orang menjadi tidak dibatasi. Jika isu krusial ini dibahas dengan melibatkan partisipasi publik, maka dapat dipastikan proses pemberlakuan kedua UU ini akan menjadi terganjal dan tidak akan bisa langsung diberlakukan pada pemerintahan Prabowo-Gibran ketika mereka telah dilantik oleh MPR.
Padahal kalau kita lihat pada wacana dari Pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan merangkul seluruh kekuatan politik yang ada, maka Prabowo tentu membutuhkan instrument agar keinginannya untuk mengkooptasi semua kekuatan politik benar-benar bisa terwujud dengan segera. Instrumen itu berupa UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres yang tidak akan membatasi jumlah dari Menteri dan anggota dari Wantimpres. Jika UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres yang baru ini diproses oleh DPR masa bakti yang baru, maka Prabowo tidak bisa segera untuk mewujudkan keinginannya untuk merangkul semua kekuatan politik yang ada.(Jack)
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya (FH UNESA).