Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.
Sebulan belakangan rasa keadilan masyarakat seakan terkoyak. Belum selesai kasus Vina-Cirebon, muncul kasus putusan bebas terhadap Ronal Tanur oleh Pengadilan Negeri Surabaya atas dugaan tindak pidana yang menyebabkan kematian Dini Sera Afriyanti.
Sementara kasus Vina masih menyisakan tanda tanya apa penyebab kematian Vina dan Eky, namun sudah ada tujuh anak yang dijatuhi hukuman seumur hidup, karena dianggap terbukti sebagai pembunuh Vina dan Eky.
Padahal logikanya jika terjadi tindak pidana yang berkaitan dengan kematian seseorang yang bukan karena kehendak sendiri (suciade atau euthanasia), seharusnya ditentukan penyebab kematiannya terlebih dahulu.
Sementara yang memiliki kewenangan untuk menentukan penyebab kematian adalah dokter, khususnya dokter forensik, yang telah disumpah. Setelah diketahui penyebab kematiannya oleh perbuatan orang lain, kemudian dicari bukti permulaan yang cukup siapa yang melakukannya melalui penyelidikan dan penyidikan.
Dalam sistem hukum kita, putusan hakim didasarkan kepada keyakinan mereka terhadap fakta-fakta persidangan. Meskipun kadang fakta-fakta persidangan tidak selalu dijadikan dasar keyakinan hakim, seperti dugaan yang terjadi pada putusan hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Ronal Tanur. Akibatnya, putusan tersebut menimbulkan protes dan demo yang dilakukan masyarakat di halaman pengadilan negeri Surabaya.
Dalam hal membuat putusan, hakim memiliki independensi, yang tidak boleh dan tidak bisa dipengaruhi atau diintervensi oleh siapapun juga. Keyakinan hakim menjadi penentu kebenaran, setidaknya putusan hakim dianggap sebagai kebenaran, jika tidak dibatalkan oleh majelis hakim di atasnya.
Hakim Penafsir Kebenaran
Dengan berlandaskan kepada asumsi bahwa, putusan hakim dianggap sebagai kebenaran, berarti hakim berperan sebagai penafsir kebenaran atas fakta dan alat bukti. Atau hakim memiliki kewenangan untuk membuat tafsir atas apa yang terjadi.
Persoalannya adalah apakah tafsir hakim itu didasari oleh kejujuran dan logika yang sehat?. Di sini mulai timbul keraguan. Paling tidak secara scientific kita boleh mempertanyakan dan meragukan.
Keraguan merupakan salah satu metode yang diajarkan oleh Rene Descartes seorang filsuf Perancis untuk menemukan kebenaran. Descartes memulai pendekatannya dengan skeptisisme (keraguan), sebagai cara untuk meragukan segala sesuatu yang tidak dapat dipastikan dengan keyakinan yang mutlak.
Menurut Descartes dalam toerinya “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada) keberadaan pikiran adalah keberadaan yang pasti. Dan keberadaan manusia ditentukan oleh keberadaan berpikirnya, dalam arti manusia akan menjadi manusia jika ia berpikir. Pandangan ini merupakan kelanjutan dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa, man is animal rational (manusia adalah binatang yang berakal).
Dari pandangan Aristoteles tersebut menunjukkan bahwa, yang membedakan manusia dengan binatang adalah akalnya. Dan akal merupakan alat untuk berpikir, sehingga jika manusia tidak berpikir, maka sama saja dengan binatang.
Memang dalam mengambil putusan hakim tentu berpikir, menggunakan akalnya. Persoalannya adalah apakah hakim berpikir secara benar (sehat)?. Memang akal merupakan alat untuk menemukan kebenaran, namun akal juga bisa dijadikan sebagai alat pembenar. Dalam sidang pengadilan kita sering menyaksikan bagaimana akal menjadi alat pembenar dalam perdebatan antara jaksa dengan penasehat hukum (advokat).
Jaksa berangkat dari asumsi bahwa terdakwa adalah orang yang bersalah, sehingga membangun narasi untuk membuktikan kesalahannya. Sementara penasehat hukum berangkat dengan asumsi bahwa terdakwa tidak bersalah, sehingga mereka membangun narasi yang membuktikan terdakwa tidak bersalah.
Dari dua pandangan yang kontradiksi tersebut, secara logika tidak mungkin keduanya benar. Pasti ada salah satu yang salah. Dalam logika berlaku asas saling menegasikan, dalam arti kebenaran yang satu akan menyalahkan yang lain. Begitu juga kesalahan yang lain akan membenarkan yang satunya.
Padahal dalam konteks pengadilan, baik jaksa, advokat maupun hakim tugasnya adalah menemukan kebenaran. Melalui persidangan tersebut, hakim diberi kewenangan untuk memutuskan kebanrannya. Di sinilah kemuliaan hakim yang dianggap sebagai wakil Tuhan.
Teori Kebenaran
Dalam logika, setidaknya ada tiga teori kebenaran, yaitu teori koherensi, korespondensi dan prakmatisme. Koherensi menyatakan bahwa, sesuatu itu dianggap benar jika ada keruntutan dan konsistensi. Kebenaran ini lebih mengandalkan kepada akal (rasionalisme), seperti dalam pelajaran matematik deduktif.
Sedangkan korespondensi menyatakan bahwa, sesuatu dianggap benar, jika ada kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan, seperti paham empirisme. Sedangkan prakmatisme lebih melihat kebenaran dari segi kemanfaatannya.
Kebenaran koherensi dan korespondensi yang dijadikan acuan dalam dunia scientific. Dalam science, kebenaran harus didukung oleh koherensi (logika) dan korespondensi (fakta), yang dalam dunia hukum disebut sebagai kebenaran formil dan materiil. Cara berpikir secara scientific ini juga digunakan dalam penyelidikan dan penyidikan untuk menemukan kebenran yang disebut dengan scientific crime investigation.
Dalam bidang keilmuan, ada prinsip logico-hypotetico-empirico. Kebenaran harus didasarkan kepada logika yang sehat dan fakta. Meskipun demikian kebenaran ilmu sebagai hasil pemikiran manusia tetap tidak mutlak, masih harus terbuka adanya kemungkinan salah.
Dalam konteks peradilan, ketidakmutlakan putusan hakim yang dianggap benar masih bisa dikoreksi melalui tingkat banding, sampai ke kasasi. Tentu adanya upaya banding, bukan hanya dimaksudkan dalam rangka memenuhi rasa keadilan, tetapi juga bisa untuk melakukan koreksi atas cara berpikir maupun kebenaran faktanya. Dalam peninjuan kembali (PK) lebih mengarah kepada upaya menemukan kebenaran atas apa yang telah terjadi.
Kejujuran
Memang keadilan harus didasarkan kepada kebenaran, tetapi kebenaran itu sendiri harus didasarkan kepada kejujuran. Persoalannya kejujuran adalah suatu yang hampir sulit ditemukan karena yang tahu hanyalah Allah dan diri sendiri, atau yang bersangkutan.
Dalam persidangan, untuk menguji kejujuran para saksi dilakukan sumpah. Sedangkan bagi penyidik, sumpah tersebut telah dilakukan ketika mereka menduduki jabatan. Sayangnya sumpah yang diucapkan seringkali tidak menjamin adanya kejujuran dalam mencari kebenaran.
Landasan kejujuran adalah keimanan. Bagi orang yang beriman, mereka akan takut untuk berhobong, karena mereka yakin bahwa meskipun orang lain tidak tahu, Allah pasti mengetahui. Namun kembali disayangkan di negara yang berketuhanan, masih banyak ketidakjujuran, yang berdampak kepada sulitnya mencari kebenaran dan keadilan. Jika masih ada ketidakjujuran, maka akan sulit mengungkap kebenaran, dan jika tidak berdasarkan kepada kebenaran, maka bukan keadilan.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur. (Jack)