Iklan VIP

Redaksi
Sabtu, 15 Juni 2024, 13:30 WIB
Last Updated 2024-06-15T06:30:28Z

Mengapa Tak Semua Presiden Indonesia Mau Tinggal Di Istana Negara


Jacob Ereste :



Spiritualitas Presiden Indonesia, mulai dari Dr. Ir. Soekarno, Mr. Syafrudin Prawiranegara, HM. Suharto, Gus Dur (Abdurachman Wahid), Megawati Soekarnoputri, Prof. Dr. BJ. Habibi, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo hingga Prabowo Subianto (yang baru terpilih), menarik ditelisik lebih jauh, ungkap Agung Marsudi, penulis tentang perminyakan, wabil khusus Chevronomics dan Duri Tanah Air Baru Amerika. Karena minyak, kata Founder Duri Institut bukan sekedar bahan bakar, melainkan sumber kehidupan itu sendiri. Sehingga minyak menjadi pusaka, komoditas berharga dan strategis.

Lalu yang menarik untuk ditelisik bobot spiritual dari Presiden Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga hari ini dan yang akan segera dilantik dalam waktu dekat, menurut Agung Marsudi dapat ditilik dari adanya kecenderungan untuk tinggal di Istana Negara Jakarta, yang merupakan belas tempat tinggal Gubernur Jendral semasa penjajahan Belanda. Sehingga di gedung peninggalan VOC (Vsreenigde Oost-Indische Conpagnie) Dutch East India Company, sebuah perusahaan dagang.

Menurut Agung Marsudi, tingkat spiritualitas Presiden Indonesia bisa terlihat dari keberanian mereka berkantor sekaligus bermukim di Istana Negara Jakarta maupun Istana Bogor, yang acap digunakan sebagai tempat tinggal. Karena secara historis, gedung yang sudah cukup berusia itu mempunyai pengaruh magis yang kuat. Jadi kalau penghuninya tidak memiliki ketangguhan spiritual yang memadai, tidak mungkin mempunyai nyali untuk tinggal di Istana bersama keluarganya.

Mulai dari Presiden Soekarno yang terkesan enjoy berkantor sekaligus menggunakan Istana menjadi tempat tinggalnya, bisa ditilik sampai Presiden Indonesia yang baru -- Prabowo Subianto -- yang akan dilantik pada akhir tahun 2024. Jadi pada masa Presiden Soeharto, mengapa terkesan tidak mau tinggal di Istana Merdeka. Dan untuk berbagai hal pekerjaan pada masa Presiden yang terkenal dengan rezim  Orde Baru itu, cukup  dominan berkantor pun di Bina Graha.

Semasa Presiden BJ. Habibie pun tetap tinggal di rumah pribadinya, Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. 

Memang agak lain pada masa Presiden Gus Dur, kesan keangkeran Istana Negara yang hirtorisnya bekas kantor sekalian tempat tinggal Gubernur Jendral Belanda pada awal mulanya dahulu, terkesan banyak perubahan sejak dihuni oleh Gus Dur dan keluarganya. 

Pada masa Presiden  Megawati Soekarnoputri, toh kembali hanya berkantor di Istana Negara, tetapi tidak menggunakannya sebagai tempat tinggal. Begitu juga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono justru mau mondar-mandir dari  Cikeas ke Istana, tak hendak tinggal di gedung peninggalan Belanda pada masa lalu itu.

Baru kemudian semasa Presiden Joko Widodo, Istana Negara kembali digunakan menjadi tempat berkantor sekaligus tempat tinggal. Lalu, sungguhkah Presiden Indonesia yang mau berkantor sekalian menjadikan Istana Negara itu sebagai tempat tinggalnya karena memiliki ketambengan atau semacam ilmu linuih untuk beradaptasi dengan suasana serta nuansa kolonial dengan segenap dedemitnya ?

Agung Marsudi masih menaruh keraguan dengan atas dasar anggapan terhadap Presiden Indonesia yang tak hendak menggunakan Istana Negara sebagai tempat tinggalnya bersama keluarga, lebih kuat menduga karena Presiden Indonesia saat menjabat dahulu mungkin saja disebabkan karena belum mempunyai rumah pribadi. Namun, toh Presiden Gus Dur mau menggunakan Istana sebagai tempat tinggalnya bersama keluarga, padahal sudah sejak lama Gus Dur sudah memiliki rumah pribadi yang bagus di Ciganjur.

Artinya, atas pilihan sikap Presiden Indonesia yang tengah menjabat ketika itu berkenan menjadikan Istana Negara menjadi tempat tinggalnya  bersama keluarga, tak bisa sepenuhnya disimpulkan karena memiliki kekuatan spiritual yang lebih dari Presiden Indonesia yang lain. Begitu juga sebaliknya, untuk Presiden Indonesia yang tengah menjabat   tak hendak menggunakan Istana menjadi tempat tinggalnya bersama keluarga, pun tidak berarti tidak memiliki ketangguhan spiritual juga. Karena itu, kesimpulan yang lebih logis, alasannya adalah kepraktisan dan efisiensi belaka. Setidaknya, tidak ikut menambah keriuhan jalan raya di Jakarta yang sering macet, apalagi dibarengi dengan pengawalan yang super komplit, banyak pengiringnya. Toh, pada masa Presiden Indonesia dijabat oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara pada 22 Desember 1948 -13 Juli 1949, karena Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta ditangkap Belanda pada 19 Desember 2948,  justru beliau berkantor sekaligus tinggal di rumah pribadinya di Bidar Alam, Solok Selatan, Sumatra Barat. Jadi mungkin, dalam kondisi darurat juga, pada periode mendatang Indonesia akan diperintah dari Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.


Jakarta, 12 Juni 2024