BAGHDAD, Clickindonesiainfo.id - Layak jika Baghdad dikenal sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam setelah masa Khalifah Al-Mansyur. Baghdad di masa pemerintahan Abbasiyah telah memenuhi cahaya ilmu dengan pesatnya pembangunan seni dan budaya Islam.
Pembangunan masif diwujudkan dengan pembangunan sekolah, madrasah, masjid, istana dan pembangunan perpustakaan yang bersejarah. Perkembangan Intelektual Islam di Baghdad ini banyak mendatangkan tokoh-tokoh ilmuan tertinggi baik dalam bidang ilmu umum maupun agama.
Sehingga, pada tahun 800 M, Kota Baghdad telah menjelma menjadi kota besar yang menjadi pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan politik. Kota ini semakin menarik banyak ilmuwan dari seluruh dunia untuk mencari ilmu.
Termasuk Syekh Abdul Qadir Al Jailani, yang merupakan warga Jilan Iran, yang kemudian memutuskan untuk hijrah menimba ilmu menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Menimba ilmu di pusat peradaban yang kemudian hingga kini masyhur dikenal sebagai pelopor sufisme thariqati dunia.
Perpusatakaan yang menjadi magnet para ilmuwan menuju Baghdad turut menarik perhatian Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa. Selama berada di Kota Baghdad Irak, salah satu tempat yang sangat ingin ia kunjungi adalah perpusatakaan.
“Di Irak ada tiga perpustakaan besar saat ini. Pertama adalah perpustakaan nasional, kedua perpustakaan milik kementeriann wakaf dan ketiga perpustakaan Al Qodiriyah yang berada di kompleks Syech Abdul Qadir Jailani,” kata Khofifah, Rabu (29/5/2024).
Dipandu oleh cicit Syekh Abdul Qadir Al Jailani yaitu Maulana Assayyid Assyech Afeefuddin Al Jailani, yang tak lain adalah pimpinan dan penanggung jawab Makam dan Madjid Abdul Qadir al-Jailani dan pendiri lembaga wakaf Al Qadiriyah, Khofifah begitu antusias menjelajah seluk beluk Perpusatakaan Al Qodiriyah.
Pasalnya, perpustakaan yang terletak di area masjid dan makam Sulthonul Auliyah Syech Abdul Qadir Jailani ini menjadi salah satu perpustakaan terpenting dan tertua yang masih bertahan di Baghdad.
Tak kurang ada 68 ribu kitab dari berbagai disiplin ilmu yang tersimpan di perpustakaan yang didirikan oleh Abu Said al-Mubarak al-Mukharami.
Perpustakaan ini sempat mengalami beberapa kali kerusakan terutama ketika konflik berkecamuk antara Safawiyah dengan Ottoman pada 1623 M. Beruntung, pada masa modern, Presiden pertama Irak, segera merenovasi dan menyelamatkan koleksi-koleksi perpustakaan tersebut.
“Di perpustakaan Al Qodiriyah ini masih tersimpan sekitar dua ribu naskah yang belum dicetak dan masih berbentuk manuskrip. Semua tersimpan sangat rapi dan terawat dengan katalog yang sistematis. Sehingga mudah dicari jika dibutuhkan,” tegas Khofifah.
Ratusan ribu orang mengunjungi perpusatakaan ini setiap tahunnya. Bahkan masyarakat Baghdad dan Irak sendiri juga sangat betah untuk berlama-lama bergelut dengan kitab-kitab yang ada di perpusatakaan ini.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya literasi masyarakat Irak begitu terbangun dan terjaga. Yang sekaligus membuktikan bahwa Baghdad masih menjaga nilai-nilai dan tradisi sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam di masa-masa kejayaannya.
“Kesadaran masyarakat Iraq untuk menjaga, melestarikan budaya cinta ilmu sangat patut untuk diteladani. Bagaimana kemajuan ilmu yang berkembang di Irak hingga menarik ilmuwan dari bergagai belahan dunia untuk belajar di sini membuktikan bahwa Baghdad menjadi pusat peradaban di masa lampau. Dan hingga saat ini kitab-kitab di sana masih terjaga dan terawat,” pungkas Khofifah.
(Jack)