Iklan VIP

Redaksi
Selasa, 14 Mei 2024, 23:07 WIB
Last Updated 2024-05-14T16:08:23Z

Etika Sebagai Perisai Sekaligus Mahkota Spiritual Yang Sakral


Jacob Ereste 

Etikabilitas sebagai pemandu intelektualitas, agar kecerdasan intelektual tidak ngaco dan ngragas melabrak etika, moral dan akhlak kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mengemban amanah selaku khalifah -- wakil Tuhan -- di muka bumi. Celakanya, orientasi pendidikan di Indonesia yang terjadi terlanjur mengedepankan pengolahan otak jadi abai pada pada upaya untuk mengolah batin.

Pengutamaan pada olah batin dalam proses pendidikan di Indonesia telah pupus dalam pendidikan berbagai bidang ilmu dan pengetahuan, sehingga kecerdasan dan ketajaman batin seakan tidak lagi dianggap penting untuk diasah menjadi pengasuh kecerdasan intelektual sampai kejenjang pendidikan tertinggi sekalipun. 

Akibatnya, semua ilmu dan pengetahuan yang diserap oleh akal pikiran menjadi kering dari budaya sopan santun, patuh dan taat pada tata aturan adat istiadat maupun tradisi yang baik-baik yang diwariskan para leluhur yang bersifat adiluhung.

Padahal, upaya untuk 
memelihara dan terus mengasah batin yang meliputi rasa, empati, kepedulian hingga tenggang rasa serta sikap rendah hati jadi hilang entah kemana muaranya. Hingga kemudian yang tampil sikap sombong, pongah, rakus dan tamak bahkan tidak jujur untuk menilep hak-hak orang lain. Inilah penyebab utama banyak kaum intelektual di Indonesia terlibat dalam tindak pidana kejahatan, korup, culas, hipokrit, khianat dan rela menzalimi rakyat yang seharusnya patut dia lindungi.

Agaknya, dalam konteks ini gagasan revolusi mental yang harus dilengkapi oleh  revolusi moral seperti dalam program nawacita yang mangkrak itu, perlu dilakukan diwujudkan lebih sempurna dan nyata. Sebab revolusi mental itu cakupannya sangat terbatas pada sikap berani dan percaya diri semata, tetapi tidak meliputi dasar keyakinan terhadap keinginan yang luhur untuk berbuat baik.

Revolusi mental dan revolusi moral sesungguhnya dapat terliput sekaligus dalam gerakan kebangkitan serta pemahaman spiritual yang senantiasa sadar mengorientasikan segenap pikiran, gagasan serta tindakan yang kemudian dapat menghasilkan suatu karya yang nyata maupun yang abstrak sifatnya -- semacam kebijakan, peraturan atau tatanan hukum -- untuk mengutamakan kemaslahatan bagi manusiawi. Sehingga dengan begitu dapat mengekspresikan sifat dan sikap ilahiah yang dapat diterima oleh jagat raya dan seluruh makhluk yang ada.

Dasar pemikiran kepercayaan suku bangsa Indonesia dalam keyakinan  tradisi masyarakat Sunda Wiwitan, misalnya jelas  bermula dari Tuhan untuk umat manusia dan alam semesta agar harmoni. Filsafat atau prinsip dari suku bangsa Badui yang teguh bersikap agar yang panjang tidak dipotong, dan yang pendek tidak perlu disambung, sesungguhnya semacam pakem yang mengidealkan tentang segala sesuatu itu yang natural itu dapat terus terjaga, termasuk alam lingkungan yang tak boleh dieksploitasi dengan semena-mena  hanya untuk memenuhi hawa nafsu serakah yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia    sebagai makhluk Tuhan yang tidak cuma berakal budi, tetapi juga sadar tentang mikro kosmos dan makro kosmos yang patut pula untuk dijaga agar tetap lestari, serasi dengan nafas kehidupan makhluk yang lain.

Nilai-nilai otentik manusia sebagai anugrah dari Tuhan -- makhluk yang berakal budi -- tidak bisa dibiarkan bertumbuh liar, sehingga menyerupai binatang yang tidak mampu mendayagunakan kemampuan berpikir dan kecerdasan spiritualnya untuk dapat mencapai derajat dan martabat kemanusiaan di atas rata-rata, bukan sekedar untuk memuaskan hawa nafsu belaka.

Padahal, hidup dan kehidupan itu pada hakekatnya menurut guru agama saya di kampung diantanya adalah kewajiban beternak kejujuran, perlunya menyemai keikhlasan, hingga keasyikan mendulang ketulusan, agar pengembaraan spiritual mampu  menghalau kebodohan dan kepongahan serta rasa malu yang harus menjadi penakar hasil panen yang memberi banyak berkah, tak hanya kepada diri sendiri dan keluarga.

Karena itu, nawacita tidaklah patut hanya dijadikan alat tipu-tipu dan kebohongan layak seperti memanipulasi anggaran dan pertanggung jawaban yang kelak pasti akan dipertanyakan oleh ruh dari diri sendiri. Maka itu, etika sebagai perisai sekaligus mahkota spiritual yang sakral harus dijaga dengan baik dan benar. Apalagi sekedar untuk mempertahankan kekuasaan yang tidak kekal dan tidak pula abadi itu. Agar pada gilirannya nanti tidak sampai menuai azab yang sangat pedih.