Oleh : Z. Saifudin, S.H., M.H.
Siklus pergantian kepemimpinan nasional sedang berlangsung dan dalam tahap proses melalui Pilpres 2024. Rakyat sebagai pemilik mandat tertinggi dalam negara demokrasi akan menentukan pilihan. Setiap warga negara melalui para Pasangan Calon (Paslon) Pilpres 2024. Merupakan putra-putra terbaik bangsa ini. Sebagai Capres dan Cawapres.
Dalam berkontestasi, mereka memiliki legalitas yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 28D ayat (3) UUD 1945). Pun korelasi dalam bernegara ada konsekuensi logis bagi rakyat sebagai hakim utama. Menjatuhkan vonis sebagai mandat rakyat. Untuk memberikan kebebasan bagi warga negara dalam menentukan pilihan sesuai hati nurani dan kebebasan bersuara (Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945).
Estafet pergantian Presiden dan Wakil Presiden akan terjadi dan dilantik tepat tanggal 20 Oktober 2024. Sebagaimana amanah konstitusi pasca amandemen pertama dalam Pasal 7 UUD 1945 yang memberikan batasan waktu national leadership setiap 5 tahun. Siklus Pilpres 2024 pada putaran pertama tanggal 14 Februari 2024. Jika gagal putaran pertama akan dilanjutkan pada putaran kedua pada tanggal 26 Juni 2024. Lalu nanti akan seperti apa?. Mari kita simak bersama. Mengawal Indonesia tercinta.
Dana Pemilu 2024
Jumlah pengajuan besarnya dana buat Pemilu 2024 tergantung pintu awal dari rancangan dan usulan dari KPU sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam hal teknis penyelenggaraan. Melalui proses pembahasan bersama antara DPR melalui Komisi II DPR bersama pemerintah.
Akhirnya, jumlah dana resmi yang telah disetujui buat KPU adalah 76, 6 T. Kesepakatan bersama itu disetujui pada tanggal 6 Juni 2022 disaksikan semua pimpinan DPR termasuk pimpinan Komisi II DPR dan Ketua KPU bersama komisionernya. Bahkan tahapan pencairan dalam berbagai katagori secara bertahap sudah dimulai dari tahun 2022 sampai 2024. Bahkan sampai jika ada 2 putaran terkhusus dari Pilpres 2024 sudah ada alokasi dana yang disediakan dari APBN.
Logika 2 Putaran
Biar tidak ada polarisasi berlebihan, dalam pandangan Penulis sudah tepat ada 3 (tiga) Paslon. Sudah lama ikut menyuarakan agar ada minimal 2 (dua) Paslon. Banyak pertanyaan muncul dari publik, lalu kenapa harus dipaksakan 1 (satu) putaran selesai?. Walaupun kerangka konstitusi dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 untuk bisa dalam 1 (satu) putaran Paslon bisa menang sulit dan tetap ada peluang berlanjut dalam 2 (dua) putaran (two round system).
Konstitusi jelas, adanya Pilpres 2024 dengan 2 (dua) putaran bukan slogan semata. Telah diakomodir dengan jelas. Terkhusus dalam Pasal 6A ayat (4) pasca amandemen keempat konstitusi. Dengan “suara tebanyak”. Tidak ada paksaan wajib 1 (satu) putaran. Justru dengan adanya 2 (dua) putaran sebagai norma hukum dalam konstitusi tersebut telah terkristalisasi akan pluralisme dalam bingkai unity in diversity di Indonesia.
Kepemimpinan identik dan linear dengan harapan masyarakat dengan tahapan dan proses. Tahapan strong leadership itu perlu proses dan tidak instan. Wajar jika voters memiliki preferensi pilihan berbeda yang menyebabkan tersebar pada semua Paslon. Selain berbasis ideologi Parpol yang berbeda dan sulit langsung bertemu dalam 1 koalisi. Juga disebabkan para pemilih juga memiliki alasan dan tolak ukur bervariasi dalam menentukan pemimpin yang tepat bagi mereka.
Jika kita lebih detail lagi soal norma hukum soal Pilpres 1 (satu) putaran. Lalu apakah, bisa terjadi pada Pilpres 2024 ini?. Berat dan sulit. Mari kita bedah lagi dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu.
Terkhusus pasca amandemen ketiga konstitusi ada syarat komulatif. Bukan alternatif. Jika ada lebih dari 2 (dua) Paslon. Semua wajib terpenuhi. Syaratnya dengan “minimal 50% + 1” dan minimal 20% dari jumlah “minimal setengah jumlah provinsi di Indonesia”.
Hal ini diperkuat dengan Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 yang sifatnya “inkonstitusional bersyarat”. Ada prasyaratnya. Dalam menyikapi jumlah Paslon yang ikut berkontestasi dalam Pilpres. Apalagi dalam Pilpres 2024 ada 3 (tiga) Paslon.
Hal ini memperkuat bahwa, syarat komulatif dalam Pasal 6A ayat (3) wajib terpenuhi. Soalnya dalam Putusan MK tersebut bersyarat jika ada 2 Paslon hanya alternatif dan tidak wajib soal minimal dari jumlah provinsi. Jelas Pilpres 2024 ada lebih dari 2 (dua) Paslon akan berat dan sulit akan dapat memenuhi ambang batas syarat tersebut.
Berkaitan sebaran suara di daerah, pasca adanya Perppu No.1 Tahun 2022 tentang Pemilu ada mandat dan legitimasi penambahan 4 provinsi baru. Pada tanggal 30 Juni 2022 telah disahkan RUU tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) menjadi UU. Resmi terbentuk provinsi baru yaitu Papua Selatan (UU No. 14 Tahun 2022), Papua Tengah (UU No. 15 Tahun 2022) dan Papua Pegunungan (UU No. 16 Tahun 2022).
Disusul pengesahan di DPR pada tanggal 17 November 2022 terbentuk Provinsi Papua Barat Daya (UU No. 29 Tahun 2022 ). Resmi Indonesia memiliki “38 provinsi” dengan 4 (empat) DOB dengan sistem Pejabat (Pj) Gubernur sebelum ada legalitas definitif kepala daerah hasil Pemilukada.
Sebelum ada 4 (empat) DOB ini, telah ada 2 (dua) provinsi definitif yaitu Papua (Ibu Kota Jayapura) dan Papua Barat (Ibu Kota Sorong). Fragmentasi penyebaran suara akan makin sulit terjadi dalam mengakomodir Pilpres 2024 hanya 1 (satu) putaran. Masyarakat kita bukan homogen yang mudah diarahkan dan fokus pada titik tertentu. Masyarakat Indonesia adalah heterogen.
Dalam komparasi data saat Pilpres 2009 tanggal 8 Juli 2009. Betul memang terjadi 1 (satu) putaran SBY dan Boediono mencapai 60,80 % angka kemengan mutlak. Keadaan masyarakat dan politik saat itu mudah ditebak dalam berbagai art of management issue (seni dan pengaturan isu) yang ada.
Bahkan memang SBY dan Boediono sebelum Pilpres 2009 dilangsungkan dalam berbagai survei rata-rata sangat tinggi. Periode per 2 Juli - 4 Juli SBY mencapai 51,95%. Periode 30 Juni - 2 Juli sebesar 63%. Periode 15-20 Juni mencapai 67%. Bahkan ada juga yang menyatakan mencapai 70%. Fragmentasi politik dan faksi dari semua aktor politik dalam patron dan klien saat itu jelas.
Lalu, jika dibandingkan dengan realitas Pilpres 2024?. Jelas berbeda baik keadaan politik dan medan pertempurannya. Dari data survei jika dalam komparasi sulit Pilpres 2024 akan berlangsung 1 (satu) putaran. Rata-rata mayoritas survei belum mencapai 50%. Belum lagi bagi swing voters. Masih besar dengan 28,7% (Data Libang Kompas).
Sampai saat ini masih menyebar. Dalam berbagai tempat dan Paslon. Berat jika dipaksakan akan berlangsung 1 (satu) putaran dan tertuju hanya pada 1 (satu) Paslon saja. Semua masih menyebar dan sulit dideteksi.
Logika hemat 17 T dari GSP?. Ada juga versi 27 T dari salah satu Timses?. Dana 76,6 T sudah masuk pagu anggaran dari Kemenkeu buat dana Pemilu 2024 termasuk Pilpres. Dicairkan secara bertahap. Lalu kenapa dipaksakan harus dihapus dan dipangkas.
Jika itu sudah masuk buat anggaran. Tidak masalah itu uang negara. Buat biaya demokrasi Indonesia. Bukankah juga sudah mendapat persetujuan bersama dengan pemerintah dan DPR bahwa KPU mendapatkan anggaran sejumlah 76, 6 T?. Itu uang dari APBN untuk pembiayaan demokrasi. Sah dan legitimasi.
Tolak ukur mahal dan tidaknya bukan dari nominal anggaran yang dikeluarkan buat pembiayaan Pemilu 2024. Itu kurang bijak dan tidak tepat. Kualitas demokrasi biarkan melewati tahapan demi tahapan tanpa harus dipaksakan dengan 1 (satu) putaran dengan tolak ukur hemat dan mahal dan/atau tidaknya nilai demokrasi itu sendiri.
Data pasca debat pertama sampai keempat memiliki nilai plus dan minus. Ada kelebihan dan kelemahan. Bahkan ada kecenderungan ada sentimen negatif. Lalu kenapa masih ingin Pilpres 2024 1 (satu) putaran?.
Tolak ukur untuk dapat 1 (satu) putaran salah satunya dengan pemililih yang bersifat dari katagori undecided voters / floating mass (swing voters) yang akan menentukan pilihan pasca adanya Debat Capres dan Cawpres.
Lalu jika pasca ada debat ada migrasi pilihan dan survei juga masih di bawah 50%, kenapa paksaan Pilpres 2024 harus 1 (satu) putaran begitu masif?. Ada apa?. Klaim atau narasi sesat saja?. Apa justru ada framing dan agitasi yang tersistem?. Apa malahan ingin menggiring opini publik dengan propaganda tertentu?.
Patut diduga akan ada gerakan yang ingin Pilpres 2024 hanya 1 (satu) putaran dengan segala cara?. Mayoritas hampir semua Lembaga Survei menyatakan sulit akan berlangsung Pilpres 2014 akan 1 (satu) putaran. Dengan alasan dan metodogi tertentu bagi mereka. Ada jenis Survei Forum Rektor PT MA yang dirilis juga potensi adanya 2 (dua) putaran Pilpres 2014 sangat rasional. Logis dan dapat diterima akal dan nalar sehat.
Penulis juga mencoba memberikan deskripsi dan fakta atas proses demokrasi itu. Walaupun berbeda aturan dan corak demokrasi dengan negara lain di dunia. Tidak ada salahnya dalam domain adanya Pilpres 2014 jika 2 (dua) putaran itu legitimasinya historisnya ada.
Kontestasi Pilpres dengan 2 (dua) putaran bukan sesuatu yang aneh. Wajar saja dalam negara demokrasi. Apalagi di Indonesia dengan keragaman bangsa. Pluralisme masyarakat yang begitu luar biasa.
Tidak mungkin akan hanya tertuju pada 1 pilihan saja. Ada alternatif lain. Menyebabkan suara terbelah dan menyebar. Sulit mengumpul pada 1 titik. Bukan dianggap Pilpres 2014 dengan 2 (dua) putaran akan sia-sia dan dianggap membuang anggaran APBN.
Adapun negara dengan Pilpres 2 (dua) putaran adalah Turki yang mematok tolak ukur kemenangan juga dengan persentase 50% + 1. Pada putaran pertama Erdogan mencapai 49.5%. Lawannya Kilicdaroglu mencapai 44,5%. Paslon lain, Sinan mencapai 5,2%.
Akhirnya digelar putaran kedua tanggal 28 Mei 2023 setelah putaran pertama tanggal 14 Mei 2023 gagal mencapai batas angka kemenangan. Ada juga di Brazil saat menggelar pemilu dua putaran. Adanya perseteruan abadi Bolsonaro dan Luiz Inacio mencapai titik klimaks politik. Sempat menganggu stabilitas nasional. Pada putaran kedua tanggal 30 Oktober 2022 Luiz Inacio berhasil menang atas petahana.
Lembaga Survei
Tidak ada yang salah dari Lembaga Survei. Mereka lahir dalam mengawal adanya demokratisasi. Adanya juga berbasis ilmiah. Tujuannya juga baik agar memberikan rujukan sementara terhadap objek dan domain yang digunakan dalam survei tersebut. Walau cantolan Lembaga Survei dalam UU Pemilu tidak jelas.
Kalau "Pemantauan Pemilu" ada dalam akreditasi atau Peraturan Bawaslu soal berbagai lembaga pemantau. Beda hal dengan Lembaga Survei, rujukannya dianggap bentuk "Partisipasi Masyarakat" (Pasal 448 UU Pemilu). Kata "Hasil Survei" dan "Penghitungan Cepat Hasil Pemilu". Tidak ada redaksional "lembaga". Aturan teknis bentuk hasil survei oleh berbagai pihak apa dan siapa saja diatur bentuk "Peraturan KPU".
Bahkan Putusan MK No.59/PUU-VI/2008 ibarat ada 2 (dua) sisi mata pedang. MK memberikan apresiasi besar pada para pihak dalam hitung cepat sebagai bentuk pengawasan dan partisipasi dalam mengawal Pemilu. Akan tetapi, sejak saat itu. Adanya Lembaga Survei memanfaatkan celah atas dianggap kebebasan bersuara tersebut.
Pada akhirnya Putusan MK tahun 2019 sudah mulai tegas terhadap Lembaga Survei yang nakal. Menjadi tidak baik ketika tujuan awal Lembaga Survei bergeser tujuan dan epistimologi yang digunakan. Jika keduanya bersinggungan pada titik kepentingan, maka Lembaga Survei hasilnya tidak akan berdasarkan ilmu dan data konkret lagi.
Hasilnya tidak objektif. Justru hal terburuk adalah ketika diduga untuk dijadikan alat penggiringan isu. Alat buat framing publik. Patut diduga buat menggiring dan menyesatkan publik atas pesanan dan kepentingan tertentu. Oleh pihak tidak bertanggung jawab. Patut diduga jika hasilnya tergantung dari pihak pemesan dan titipan saja.
Hal tersebut tidak baik pendidikan demokrasi di Indonesia. Bagi Penulis, tetap mendukung adanya Lembaga Survei dengan berbasis ilmiah. Sebagai bahan evaluasi semua pihak. Hasil Lembaga Survei sebagai salah 1 (satu) tolak ukur saja atas hasil kontestasi. Bukan melulu dan mutlak hasil Lembaga Survei menjadi rujukan utama akan hasil wajib diikuti atau diyakini kebenarannya.
Negara Demokrasi Terbesar Dunia
Dalam teori demokrasi baik yang bersifat prosedural dan substansial dapat digunakan untuk mengukur kualitas Pilpres 2024. Akankah 1 (satu) putaran atau 2 (dua) putaran?.
Dalam kajian demokrasi yang berjudul “Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi” bahwa, Schumpeter dan Robert Dahl dalam menilai makna demokrasi lebih ditekankan pada materi dan isi dari kualitas demokrasi yang berjalan agar berlangsung Luber Jurdil dan tanpa ada pemaksaan soal pilihan rakyat. Semua mengikuti alur dan proses yang ada. Diserahkan pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Bukan dijadikan sebagai alat address saja.
Dalam menyikapi politik dan demokrasi kita jangan terjebak atas dan dari kemunafikan sesaat. Berkaca mata kuda saja. Tanpa melihat dan dengan perspektif lain. Adanya paradigma dari Judith Shklar dan George Eliot telah menjadi maha karya dalam “Mansfiled Park” menjadi salah 1 (satu) titik buat mengukur nilai kepentingan publik dan pribadi. Ada jeda yang wajib dipangkas.
Bahkan Phinneas Redux dalam kajian soal jeda dan batasan kepentingan sudah lebih mengarah pada politik. Bukan publik menjadi skala prioritas. Kritik Trollope dalam “The New Zealander” patut miminal dapat buat renungan bersama atas kejadian demokrasi dan masa transisi kepemimpinan di Indonesia. Akan seperti apa?.
Indonesia adalah negara besar. Jumlah penduduk mencapai 278, 69 juta jiwa. Ada 38 provinsi. Negara kepulauan terbesar di dunia. Ada 17.508 pulau dengan 360 suku bangsa. Negara terbesar demokrasi di dunia. DPT pada Pemilu 2024 sebesar 204, 8 juta. Negara toleransi terbesar di dunia.
Dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A UUD 1945) pasca amandemen kedua konstitusi merupakan social legality dalam mengakomodir arah politik bernegara. Mengawal Indonesia. Sudah sepantasnya Indonesia berwibawa dan terhormat. Tujuan bernegara dalam Alenia IV Konstitusi hanya bisa dihadirkan oleh pemimpin yang berkualitas dan cerdas (IQ, EQ dan SQ). Paham dunia internasional. Tahu geopolitik Indonesia terhadap dunia.
Agar tidak adanya dekadensi demokrasi. Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar di dunia. Mengalahkan Amerika Serikat dan India. Kelebihan Indonesia adalah adanya Pileg dan Pilpres digelar bersamaan.
Berbeda dengan di USA hanya dengan sistem perwakilan terhadap suara rakyat berasal 538 “Electoral College” dari 50 negara bagian. Kalau di India kelebihannya hanya soal DPT yang besar sekitar 900 juta. Cuma Pileg dan Pilpres berjenjang 9 tahapan tidak serentak. Indonesia harus berbangga. Memiliki role model demokrasi yang hebat di dunia.
Kontestasi Pemilu 2024 termasuk adanya Pilpres persoalan 1 (satu) dan/atau 2 (dua) putaran bukan menjadi ukuran akan kualitas adanya Pemilu 2024. Ukuran paling baku adalah ketika legitimasi dan tahapan pada setiap jenjang pemilu berjalan Luber dan Jurdil.
Bukan dan tidak memaksakan adanya 1 (satu) putaran dianggap kualitas pemilu itu baik. Kita jangan sesat pikir dengan narasi gerakan 1 (satu) putaran. Wajib berpikir logis dan rasional demi menjaga kualitas demokrasi baik secara prosedural dan substansial.
Tidak salah jika terjadi 1 (satu) putaran. Pun juga legitimasi dan tidak menjadi persoalan jika ada 2 (dua) putaran. Lalu jika 1 (satu) putaran gagal terjadi bukankah kualitas demokrasi akan diukur pada putaran 2 (dua)?. Mari kawal bersama Pilpres 2024 dengan baik dan benar.
Admin : Joko Santoso
*Penulis adalah Pakar Muda Hukum Tata Negara, Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners, dan Pegiat Demokrasi dan Politik Indonesia.