Iklan VIP

Redaksi
Senin, 12 Februari 2024, 11:15 WIB
Last Updated 2024-02-12T04:39:27Z

Memahami Perbedaan Dalam Pemilu


 

Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.

Menjelang hari pencoblosan tanggal 14 Februari 2024 suara yang mengkritisi sikap presiden Jokowi semakin menguat. Para guru besar dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, semakin gencar menyuarakan keprihatinan, atas proses pemilu yang dianggap kurang adil dan etis. 

Apa yang disuarakan oleh kalangan kampus tersebut tidak seiring dengan apa yang terjadi di masyarakat bawah. Mereka terkesan menikmati bansos yang dibagikan oleh Jokowi, tanpa peduli dengan proses yang melatar belakangi.

Dalam sistem demokrasi setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan tersebut merupakan bagian dari hak azasi manusia, yang dijamin oleh undang-undang. Sehingga wajar jika mucul  pendapat yang beragama baik sebagai kritik, keprihatinan, himbauan  maupun dukungan terhadap pemerintah, khususnya Jokowi.  

Dalam kontek pemilu, khususnya pilpres, kebebasan bukan hanya dalam berpendapat, tetapi juga dalam memilih calon presiden dan wakilnya. Setiap orang bebas memilih siapa dari calon yang ada. 

Meskipun demikian, kebebasaan tersebut dibatasi oleh calon yang diusulkan partai politik dan telah ditetapkan oleh KPU. Kita tidak bisa memilih orang di luar yang telah ditetapkan oleh KPU.  

Adanya keterbatasan calon yang bisa dipilih, dapat menimbulkan pandangan pro dan kontra. Bagi partai yang mengusulkan dan para pendukungnya tentu calonnya adalah yang terbaik, setidaknya lebih baik dibandingkan dengan calon lain. 

Namun keterbatasan jumlah calon, juga bisa menimbulkan pandangan bahwa tidak ada calon yang baik, sehingga mereka mengambil sikap politik dengan cara golput.

Meskipun golput bukan sikap yang baik dalam proses demokrasi, bisa saja muncul sebagai reaksi atas buruknya calon yang ada. Mereka berpendapat bahwa semua calon tidak ada yang baik, sehingga tidak memilih. 

Untuk itu, Franz Magnis Suseno menyarankan bahwa, jika tidak bisa memilih yang terbaik, setidaknya bisa menghindari agar bukan yang terburuk yang terpilih. Dengan tidak golput, berarti telah ikut berpartisipasi untuk mencegah yang terburuk menjadi pemenang.

Pendapat seseorang terhadap calon dipengaruhi oleh pemikiran, pengalaman, dan lingkungan sosial mereka. Setiap anak telah ditanami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, yang kemudian  mempengaruhi cara berpikir mereka. 

Berger telah menjelaskan bahwa, anak dikonstruk oleh nilai-nilai yang ada di masyarakat. Meskipun, dia tidak selalu tunduk kepada nilai-nilai tersebut, tetapi juga tidak  bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh kontruksi sosial yang melingkupi.

Pengalaman akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap masing-masing calon. Bagi mereka yang memiliki pengalaman yang baik dan menyenangkan dengan calon, tentu akan memiliki kesan dan penilaian yang baik. Tetapi bagi mereka yang memiliki pengalaman buruk dan tidak menyenangkan dengan calon, tentu memiliki penilaian yang kurang baik.

Di sisi lain, pemikiran seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dicapai. Bagi mereka yang berpendidikan tinggi tentu tidak sama dengan mereka yang berpendidikan SD. 

Faktanya 51% rakyat Indonesia tingkat pendidikannya masih pada level SMP ke bawah. Hal ini jelas mempengaruhi cara berpikir mereka. Bagi  yang berpendidikan rendah belum tentu semua paham tentang hukum dan sistem ketatanegaraan.

Namun mereka tentu memiliki kecerdasan (pemikiran) sendiri  dalam menentukan pilihannya. Kadang mereka tidak peduli siapa yang akan terpilih menjadi presiden, yang mereka pikirkan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup hari ini. 

Bahkan mereka juga tidak berpikir untuk jangka panjang, lima tahun atau bahkan 10 tahun ke depan. Mereka hanya berpikir “hari ini”. Apapun alasan mereka dalam menentukan pilihan  harus kita hormati, karena itu bagian dari demokrasi.

Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang berada di perguruan tinggi, yang secara konsep maupun teori memahami, bagaimana negara seharusnya dijalankan. Pemikiran mereka jelas dilandasi oleh logika yang sehat dan obyektif, sehingga bisa menilai mana yang baik untuk kepentingan bangsa ke depan. Meskipun demikian, bukan berarti di kalangan akademisi tidak ada perbedaan pendapat.

Di kalangan perguruan tinggipun juga tidak satu pandangan tentang proses demokrasi yang sedang berlangsung. Mereka  memiliki sudut pandang yang berbeda. Bahkan mereka yang dalam satu bidang ilmupun bisa berbeda pendapat. Dalam dunia akademis perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan harus  dihormati, karena merupakan bagian dari prinsip keilmuan.

Diantara pendapat yang muncul menjelang pemilu 2024 ada yang realistis, politis dan filosofis. Pendapat yang realistis didasarkan pada fakta, tanpa ada penafsiran dan terlepas dari kepentingan. Meskipun pendapat tersebut juga belum tentu menggambarkan realitas secara keseluruhan. 

Sementara pendapat yang politis, sulit untuk dibuktikan kebenarannya, karena sarat dengan kepentingan. Sedangkan pendapat filosofis, merupakan hasil pemikiran yang komprehensif dan mendalam untuk mengungkap kebenaran. Di antara suara yang disampaikan oleh para guru besar ada yang termasuk kategori filosofis.

Sayangnya demokrasi menyamakan kedudukan setiap warga negara dengan prinsip one man one vote. Demokrasi elektoral hanya melihat jumlah suara tetapi kurang memperhatikan itu suara siapa. 

Siapapun yang memperoleh suara terbanyak atau lebih dari 51% yang akan menjadi pemenang, tidak peduli tingkat pendidikan yang memilih. Inilah realitas dalam berdemokrasi yang menganut prinsip setiap orang sama hak dan kedudukannya dalam memilih pemimpin. 

Oleh karena itu, siapapun presiden yang terpilih harus kita terima dengan lapang dada, selama itu sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Yang lebih penting dari pemilu adalah bagaimana kita tetap bersatu dalam perbedaan dan menjaga keutuhan NKRI. 

Presiden setiap lima tahun bisa berganti, tetapi NKRI tidak boleh runtuh hanya karena perbedaan pilihan. Kesadaran  untuk menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan merawat kebhinekaan menjadi lebih utama dari pada siapa presidennya. 

Pemilu hanya sebagai sarana untuk memilih pemimpin dalam waktu lima tahun ke depan. Jika ternyata presiden yang terpilih tidak baik, maka lima tahun berikutnya tidak usah dipilih kembali.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.