Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.
Satu hari setelah pencoblosan tangal 14 februari 2024, wacana kecurangan menjadi trending topik di berbagai media termasuk di media sosial. Hasil Quick Count yang telah dirilis oleh lembaga-lembaga survei menimbulkan reaksi bagi mereka yang kalah dalam perhitungan suara. Reaksi tersebut diungkapkan dalam pernyataan kecurangan.
Maraknya wacana kecurangan yang disampaikan oleh berbagai pihak, tentu bisa dimaklumi, karena menyangkut dua nilai dasar yaitu kebaikan dan kebenaran. Kecurangan memang bukan hal yang baik, karena melanggar etika dan moral. Namun kecurangan sebenarnya juga berkaitan dengan kebenaran karena bisa dibuktikan. Karena dalamnya ada niat membuat atau melanggar aturan demi keuntungan sendiri dengan merugikan orang lain.
Jika dalam pemilu sampai terjadi kecurangan, berarti ada niat untuk membuat atau melanggar aturan demi meraih kemenangan. Adanya niat dan pembuatan atau pelanggaran aturan itu bisa dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, kecurangan bukan hanya pelangaran etika (kebaikan), tetapi juga pelanggaran hukum (kebenaran).
Kebenaran dan kebaikan adalah dua nilai yang universal dan didambakan oleh setiap orang dimanapun berada. Sehingga ketika terjadi kecurangan, tentu tidak bisa diterima oleh siapapun, karena merupakan pelanggaran terhadap kebenaran dan kebaikan. Sayangnya, kedua nilai tersebut sering tidak seiring dan sejalan. Kadang suatu itu benar, namun tidak baik, atau sebaliknya sesuatu yang baik tetapi belum tentu benar.
Kebenaran memiliki obyektivitas yang lebih tinggi dari kebaikan. Kebenaran bisa dibuktikan melalui data maupun logika. Secara logika, ada dua paham kebenaran yaitu koherensi dan korespondensi. Koherensi menyatakan bahwa, kebenaran itu didasarkan kepada logika deduktif, yang di dalamnya ada keruntutan dan keajegan. Sementara paham korespondensi menyatakan bahwa, kebenaran itu adalah kesesuaian dengan kenyataannya (empirik).
Dalam dunia keilmuan, kedua paham tersebut tidak bisa berdiri sendiri sendiri, karena masing-masing memiliki kelemahan. Keduanya harus digabungkan, sehingga kebenaran harus didukung oleh logika dan fakta. Dalam dunia keilmuan, kebenaran yang hanya didasarkan pada salah satu paham tidak bisa diterima, karena masih bersifat hipotesis.
Meskipun secara logika sudah runtut dan ajeg, masih harus dibuktikan dengan fakta. Begitu juga, seandainya fakta dan datanya ada, masih harus dijelaskan logikanya yaitu hubungan kausalitas, keruntutan, dan konsistensinya. Apakah fakta-fakta tersebut tersebut berhubungan secara kausal. Atau hanya merupakan hal yang berdiri sendiri, tidak mempunyai hubungan sebab akibat.
Di sisi lain, kebaikan merupakan nilai yang relatif. Setiap orang bisa mengkonstruksi kebaikan sendiri-sendiri. Meskipun ada juga pendapat bahwa, nilai termasuk kebaikan juga bersifat obyektif. Namun obyektivitas suatu nilai, lebih didasarkan kepada penerimaan sekelompok orang atau masyarakat yang menyepakati.
Sementara setiap masyarakat, bisa saja memiliki kesepakatan yang berbeda tentang apa yang dianggap baik. Sehingga sesuatu yang dianggap baik oleh suatu masyarakat, belum tentu baik bagi masyarakat lainnya.
Subyektivitas kebaikan (etika) ini kemudian diobyektifkan dalam bentuk aturan hukum (logika), yang bisa dibuktikan kebenarannya. Namun hubungan antara kebaikan dengan kebenaran bukanlah hubungan yang simetris, yang saling mengadakan. Dalam arti bahwa, jika ada kebenaran pasti ada kebaikan, dan sebaliknya jika ada kebaikan maka ada kebenaran.
Hubungan antara kebaikan dan kebenaran merupakan hubungan induksi sebab akibat. Dalam hubungan tersebut ada syarat yang diperlukan (necessary condition) dan syarat yang memadai (sufficient condition). Kebenaran merupakan syarat yang memadai adanya kebaikan. Sedangkan kebaikan merupakan syarat yang diperlukan untuk kebenaran. Sehingga jika ada kebenaran maka ada kebaikan, dan jika tidak ada kebaikan, maka kebenaran sulit diharapkan.
Untuk memahami hubungan ini, bisa dianalogikan dengan hubungan antara nyala api dengan oksigen. Nyala api merupakan syarat yang memadai adanya oksigen. Sedangkan oksigen merupakan syarat yang diperlukan untuk nyala api. Sehingga jika ada nyala api, berarti ada oksigen, dan jika tidak ada oksigen, maka tidak akan ada nyala api.
Hubungan antara kebaikan dan kebenaran juga bisa dianalogikan dengan keharusan (das sollen) dan kenyataan (das sain). Keharusan hanyalah harapan, seruan moral, sedangkan kenyataan adalah hal yang telah ada.
Jika apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan, berarti tidak ada masalah. Namun jika kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan, akan memunculkan masalah. Namun suka atau tidak, kenyataanlah yang harus kita terima. Yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki kenyataan tersebut agar sesuai dengan yang diharapkan.
Eratnya hubungan antara kebenaran dengan kebaikan, maka etika menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan bersama termasuk dalam politik. Dalam politik yang diharapkan bukan hanya dilandasi oleh hukum (kebenaran), tetapi juga dilandasi oleh etika (kebaikan).
Oleh karena itu, agar wacana kecurangan menjadi kebenaran, harus dibuktikan, mulai dari adanya niat, dan aturan yang dibuat atau dilanggar. Jika tidak bisa dibuktikan kebenarannya, hanya akan menjadi wilayah etika dan moral, yang berada di wilayah baik atau buruk yang bisa diabaikan oleh mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya.
Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan masalah, kebenaran harus disandingkan dengan kebaikan. Kebaikaan harus dihadirkan dalam kehidupan termasuk dalam politik. Dengan selalu hadirnya kebaikan, kehidupan akan damai dan adil.
Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.(jack)