Iklan VIP

Redaksi
Selasa, 13 Februari 2024, 23:57 WIB
Last Updated 2024-02-13T16:57:47Z

Memahami Suara Rakyat dan Suara Tuhan Dalam Politik



Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.
 
Dalam dunia politik kuasa Tuhan sering dijadikan acuan untuk memperoleh kekuasaan. Pada sistem monarkhi, raja melegitimasi kekuasaannya dengan membangun wacana bahwa dia adalah keturunan atau wakil Tuhan. Sedangkan dalam sistem demokrasi muncul wacana Vox Populi, Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa, manusia mengakui bahwa, ada Tuhan sebagai sumber kuasa. Manusia menyadari bahwa, dirinya adalah makhluk yang lemah. Sehingga membutuhkan dukungan dari Tuhan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya.

Dalam sistem monarki, suara (baca: kehendak) Tuhan tersebut dimiliki oleh seorang raja, sehingga implementasinya lebih mudah, karena tidak membutuhkan banyak orang, cukup pada dirinya sendiri. 

Hal ini menyebabkan sistem monarkhi cenderung bersifat otoriter, karena kekuasaan terletak pada satu orang raja. Dengan menyandarkan legitimasinya dari Tuhan, maka muncul wacana raja tidak bisa salah (King can do no wrong).

Hal ini bisa dimaklumi karena Tuhan pasti Maha Baik. Kebaikan Tuhan diantaranya adalah Maha Kasih, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pemurah dan segala Maha yang baik lainnya. Tuhan tidak memiliki sifat yang buruk. Oleh karena itu, meskipun raja diberi kekuasaan mutlak, tentu akan digunakan untuk kebaikan, dan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam Sejarah Indonesia pernah disebutkan ada raja yang sangat bijak dan adil, sehingga dalam pemerintahannya mampu membawa kesejahteraan rakyatnya. Raja tersebut adalah Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga. Dalam menegakan keadilan Ratu Shima tidak pandang bulu, ketika putranya sendiri melakukan pelanggaran juga dihukum sesuai dengan aturan yang ada.

Dengan sistem monarki, Ratu Shima memperoleh kekuasaan bukan dari rakyat, tetapi dari warisan suaminya. Dia mejadi penguasa (Ratu) karena menggantikan suaminya yang juga seorang raja.
Namun Ratu Shima juga tidak dapat mewariskan suara Tuhan kepada anaknya. Bagaimanapun, manusia bukan keturunan Tuhan. Dia merupakan ciptaan Tuhan dengan segala kelemahannya. 

Manusia memiliki sifat buruk berupa keserakahan dan kesewenang-wenangan. Dua sifat tersebut yang menyebabkan ketidakadilan dan kebiadaban. Dua sifat tersebut yang mendorong terjadinya penjajahan. Itulah yang menyebabkan  bangsa Indonesia secara tegas menyatakan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.

Dalam sistem demokrasi, suara Tuhan dimanifestasikan dalam pernyataan: suara rakyat. Wacana ini sebenarnya bisa dipahami, karena dalam demokrasi pemagang kekuasaan negara adalah rakyat. Sehingga jika rakyat menghendaki, tentu bisa diwujudkan. Dalam kontek pemilu  siapa yang dikehendaki menjadi  presiden pasti akan menang.

Persoalannya dalam sistem demokrasi, suara  Tuhan  termanifestasikan kepada banyak orang (rakyat), sehinga tidak mudah untuk menyatukan menjadi satu suara. Paling tidak, agar dapat mewakili suara Tuhan dibutuhkan lebih dari 50% dari jumlah rakyat yang memiliki hak pilih. 

Meskipun sama-sama membutuhkan kehadiran Tuhan sebagai sumber kekuasaan, dalam sistem demokrasi lebih sulit dibanding dengan monarkhi, karena suara tersebut tersebar kepada banyak orang.

Kehadiran suara Tuhan dalam politik sebenarnya harus dipahami sebagai simbol kebaikan, yang tercermin dalam sikap, perilaku dan ucapan. Tuhan merupakan simbol, keadilan, dan  kejujuran. Tuhan juga sebagai simbol mental kaya yang selalu memberi kesejahteraan dan keadilan kepada umatnya. 

Tuhan tidak pernah mementingkan dirinya sendiri, apalagi meminta jabatan atau kekuasaan. Dengan demikian, kehadiran Tuhan dalam politik harus dimaknai sebagai sumber moralitas  yang membimbing manusia dalam memperoleh dan menjalankan kekuasaannya.

Dalam kontek politik kahadiran Tuhan seakan hanya diperlukan sebagai sumber kekuasaan, bukan sebagai sumber kebaikan, Bahkan Tuhan hanya dijadikan sebagai legitimasi atas kehendak elit politik dengan wacana, bahwa itu sudah taqdir. Atau jika Tuhan menghendaki pasti akan tarjadi.

Memang dengan segala kuasanya, apapun yang dikehendak Tuhan (Allah) pasti terjadi. Namun  manusia tidak pernah bisa tahu apa yang dikehendaki Allah. Manusia disuruh berusaha dan hanya boleh berharap, tetapi tidak bisa “memerintah” Allah untuk memenuhi keinginan manusia, termasuk keinginan untuk memperoleh kekuasaan. 

Allah telah memberi manusia akal, dan hatinurani yang harus digunakan. Perintah dan peringatan kepada manusia yang tidak menggunakan keduanya telah ada didalam Alquran. 

Akal digunakan untuk memahami kebenaran dan memahami hukum alam, yang didalamnya ada kausalitas. Hati nurani sebagai sumber kejujuran yang membimbing manusia agar tidak berbohong, termasuk termasuk kepada niatnya.  

Kehadiran Tuhan sebagai sumber kebaikan inilah yang sangat diperlukan dalam perpolitikan di Indonesia. Etika menjadi pegangan setiap orang yang sedang memperebutkan jabatan atau kekuasaan. Kebaikan, kejujuran, dan keadilan harus menjadi pegangan dalam kontestasi politik. 

Etika bukan hanya fokus pada tujuan, tetapi juga cara dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, tujuan harus baik dan ditempuh dengan cara yang baik serta  menggunakan sarana yang baik juga.

Dengan selalu menghadirkan Tuhan dalam diri setiap warga negara, bisa mencegah, minimal mengurangi terjadinya konflik dalam proses demokrasi. Di samping itu, dengan menghadirkan Tuhan, orang bisa mencegah perilaku buruk, seperti korupsi, yang dapat menghambat Pembangunan dan menimbulkan ketidakadilan.

Bagi bangsa Indonesia kehadiran Tuhan telah dirumuskan dalam sila pertama Pancasila. Sila pertama ini bukan hanya mendasari, tetapi juga menjiwai sila-sila lainnya, termasuk sila keempat yang menjadi landasan politik di Indonesia. 

Pancasila bukan hanya sebagai sember dari segala sumber hukum, tetapi juga sebagai moral bangsa, yang harus diimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Implementasi Pancasila sebagai moral inilah yang akan mentukan keberhasilan proses politik dan Pembangunan di Indonesia. 

*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.