Oleh : Denny JA
- Pelajaran Elektoral 2023
Merosotnya dukungan elektoral terhadap Ganjar Pranowo di bulan November dan Desember, itulah pelajaran politik elektoral yang terpenting di tahun 2023.
Mengapa dukungan kepada Ganjar merosot? Kita pun teringat seorang dewi dari mitologi Yunani bernama Eris. Ini dewi yang acap kali punya niat baik tapi ujungnya berbuah buruk.
Bisa kita katakan secara politik elektoral, merosotnya dukungan kepada Ganjar justru dimulai dari niat baik. Katakanlah ini perspektif positif membaca sebuah manuver politik.
Bagaimana menjelaskan hal ini? Mari kita runtut. Kita mulai dengan berita. Bulan Maret sampai September 2023, sama kita bisa lihat dokumennya di Google.
Di era itu, publikasi berbagai lembaga survei, mulai dari LSI Denny JA, Indikator, Poltracking sampai Kompas, selisih Prabowo dan Ganjar umumnya hanya 1% - 3% saja. Ini selisih yang di bawah margin of error.
Kadang Prabowo di atas. Kadang Ganjar di atas. Itu sama sah dari sisi membaca statistik karena hadirnya margin of error tadi. Katakanlah itu posisi yang sama kuat antara Ganjar dan Prabowo.
Namun kemudian di akhir bulan Oktober, November, Desember 2023, terutama di bulan terakhir November dan Desember, juga publikasi dari enam lembaga survei yang sama, hasilnya begitu berbeda.
Prabowo unggul telak sekali. Selisih Prabowo dan Ganjar melebar, menjauh dengan margin sekitar 16% hingga lebih dari 20%. Kok bisa? Apa yang terjadi?
Yang terjadi awalnya adalah niat baik. Awalnya adalah koor semangat yang ingin memberi teguran karena niat menjaga tatanan politik yang lebih substansial. Sekali lagi, ini perspektif positif dalam membaca manuver politik.
Di era itu, Mahkamah Konstitusi baru saja menyatakan bahwa, calon presiden dan wakil presiden sah jika usianya di bawah 40 tahun, sejauh ia pernah punya pengalaman menjadi kepala daerah.
Maka Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, sah menjadi calon wakil presiden. Itu dilindungi oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
Saat itulah dimulai niat baik dan warning dari Civil Society. Keras sekali mengkritik. Para budayawan, pemikir sosial, hingga komedian lantang sekali menghantam Jokowi, juga menyikat Gibran, juga menyerang Prabowo.
Isu dinasti politik berhamburan. Lahir pula isu ada intervensi kekuasaan kepada Mahkamah Konstitusi. Digaungkan berbagai ragam serangan yang menyatakan sudah terjadi manipulasi konstitusi. Dan lain sebagainya yang sejenis.
Yang menjadi masalah, dan memiliki efek elektoral, kemudian isu itu diambil alih oleh kubu Ganjar Pranowo sendiri.
Mulailah itu para tokoh PDIP dan yang mewakili kubu Ganjar menyerang Jokowi. Awalnya serangannya begitu puitik seperti demokrasi makin mendung di era Jokowi.
Lalu pelan-pelan serangan dari kubu Ganjar pun memuncak. Dalam pidato yang penuh semangat dan berapi-api, keras sekali mereka menyamakan Jokowi dengan lahirnya kembali Orde baru.
Tak tanggung-tanggung, yang menyatakannya adalah ketua umum pimpinan tertinggi dari PDIP sendiri. Kubu Ganjar Pranowo terindentifikasi oleh publik luas sebagai penyerang Jokowi.
Efeknya justru migrasi suara, tepatnya eksodus karena cukup besar efeknya. Terjadilah eksodus pendukung Jokowi yang tadinya mendukung Ganjar.
Lalu pelan-pelan mereka pergi dari Ganjar. LSI Denny JA merekam perubahan itu melalui survei bulanan, dan survei dua mingguan.
Di bulan akhir Oktober 2023, segmen pemilih yang mendukung Ganjar berjumlah 39,4% (dari segmen yang puas terhadap kinerja Jokowi). Tapi di akhir November 2023, tinggal 28,9% dari pemilih yang puas dengan Jokowi yang bertahan di Ganjar.
Dalam waktu sekitar satu bulan saja, sebesar sebelas persen (11%) sudah suara pergi dari Ganjar Pranowo (dari segmen yang puas kinerja Jokowi).
Dalam studi perbandingan politik elektoral, merosotnya dukungan sangat besar dan sangat cepat itu hanya terjadi, salah satunya akibat blunder besar.
Mengapa mereka lebih memilih ikut Jokowi, ketimbang meninggalkan Jokowi? Bukankah saat itu Jokowi sedang dikritik keras.
Ini fenomema karakter pemilih yang emosional. Memang hubungan segmen pemilih itu kepada Jokowi sudah ada elemen emosionalnya. Mereka terutama adalah pemilih wong cilik.
Umumnya pendidikan mereka hanya SMP ke bawah. Tapi jangan lupakan fakta penting. Jumlah segmen ini adalah yang terbanyak dari populasi pemilih Indonesia: 55%.
Ada pemilih rasional. Ada pemilih emosional. Ini pelajaran elementer politik elektoral. Pemilih yang rasional umumnya ini datang dari kalangan terpelajar, seperti mahasiswa, tamat D3, S1, S2, S3. Total pemilih kalangan terpelajar ini hanya 10 persen saja.
Untuk kasus Indonesia, jauh lebih banyak karakter pemilih emosional. Hubungan pemilih ini kepada Jokowi jauh lebih mendalam. Ini jenis hubungan yang tak mudah luntur hanya akibat sebuah wacana atau gagasan model isu dinasti politik.
Di segmen ini, justru mereka tetap dengan Jokowi dan pergi dari Ganjar Pranowo. Kemana mereka pergi? Sebagian mereka pergi ke Prabowo. Sebagian ke Anies. Dan sebagian lagi ke swing voters.
Itulah yang menjelaskan mengapa elektoral Ganjar Pranowo turun sangat drastis sekali di bulan November dan Desember 2023. Itulah momen ketika serangan kepada Jokowi begitu kerasnya yang dikerjakan kubu Ganjar pranowo sendiri.
Ini sekali lagi membuka mata kita berlakunya satu sindrom Dewi Eris bahwa, walau niatnya baik tapi ujungnya bisa buruk jika ditinjau dari politik elektoral.
Ini mungkin sedikit membingunkan bagi common sense umum. Tapi ini hal yang biasa saja bagi yang fasih dengan politik elektoral dan membaca data riset dari waktu ke waktu.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku. (ari)