Oleh : R. Mustofa
Tempo hari saya berbincang-bincang dengan teman-teman dosen di kampus Surabaya tentang prestasi Unusa. Meskipun perbincangan kita sudah sering terjadi tentang akselerasi Unusa yang dianggap sangat cepat perkembangannya, namun perbincangan itu menjadi penting karena Unusa memperoleh akreditasi unggul di usianya yang masih belia, 10 tahun.
Sebagai institusi perguruan tinggi yang masih berumur 10 tahun tentu tidak berlebihan jika saya mengatakan Unusa masih sangat muda namun telah bersaing dengan kampus-kampus yang sudah puluhan tahun berdiri.
Prestasi itu boleh disyukuri bahkan dibanggakan sembari dijadikan evaluasi dan refleksi untuk terus maju melayani masyarakat berkontribusi untuk kemaslahatan masyarakat luas melalui pengajaran, penelitian dan pengabdian. Filsuf Aristoteles menegaskan bahwa, pengetahuan yang sejati harus membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Unusa harus mampu “menjangkau” masyarakat dari berbagai segmen dan kelas sosial seperti salah satu yang telah dilakukan saat ini yaitu menjangkau pesantren-pesantren di Indonesia. Selain itu harus bersosialisasi serta bertransformasi dengan baik sehingga Unusa akan menjadi salah satu primadona pilihan masyarakat dan bertaraf kampus international di masa depan seperti yang dicita-citakan.
Menilik Times Higher Education’s (THE) World University Rankings, pilar penilaian dalam pemeringkatan meliputi lima area, yaitu pengajaran, lingkungan penelitian, kualitas penelitian, industri, dan outlook internasional. Oleh karenya Unusa harus fokus meningkatkan kualitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif.
Namun, di masa depan ada godaan yang harus mampu dilewati oleh Unusa, namanya “kekuasaan dan nepotisme”. Mengutip pendapat Trias Kuncahyono kekuasaan memang memesona sekaligus menakutkan. Karena kekuasaan seseorang bisa membenarkan semuanya, pun sebaliknya ia mampu mendustakan segalanya.
Sebagai manusia, sudah semestinya menyadari bahwa, kekuasaan itu nisbi. Siapa yang menyangka kekuasaan Julius Caesar, negarawan, Jenderal, dan diktator Kekaisaran Romawi, runtuh saat ia dikhianati koleganya sendiri, Brutus.
Tidak, Unusa harus menjadi kampus yang Islami sesuai tagline-nya mencetak generasi Rahmatal lil A’lamin. Memiliki keadaban politik yang tinggi dan penuh wibawa, suasana politik kampus dalam kultur saling percaya, inklusif, dan terbuka, kalau dalam NU ini masuk dalam karakter tasammuh.
Kepentingan akademik harus mengalahkan kepentingan golongan dan sub kultur umat Islam, jangan sampai terperangkap dalam lingkaran subkultur yang merendahkan pertimbangan akademik dan moral agar kualitas akademiknya terus maju dan berkembang. Kalau dalam teori politik disebut meritokrasi.
Pemimpin harus terbuka dari segala masukan dan kritik, tidak boleh merasa paling benar. Kepedulian dan rasa memiliki warga kampus terhadap sebuah lembaga bukan ditunjukkan dengan cara membenarkan semua kebijakan, “yang penting bos senang”. Namun harus tercipta suasana demokratis saling mengisi dan mengingatkan karena kebebasan berekspresi adalah bagian dari cita-cita reformasi.
Tetapi kritik yang disampaikan harus konstruktif bukan kebencian dan sentimen ada niat tulus dan jujur untuk membangun. Kebencian itu destrukrif dan menegasikan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat diagungkan dalam Islam.
Selain itu, sejatinya perguruan tinggi memberikan kesempatan pada golongan muda. Muda di sini bukan berarti usia tetapi progresif dan cerdas, memahami perkembangan zaman yang berjalan begitu cepat. Bukan kelompok yang kolot konservatif dan gagal membaca zaman sehingga ucapan serta pikirannya sudah usang.
Dosen menjadi salah satu unsur terpenting dalam lembaga perguruan tinggi, selain mengajar dan mendidik, harus mampu meneliti dan beraktualisasi. Memiliki etos kerja yang tinggi, produktif dan ilmiah bukan sekadar mengajar, meneliti, dan mengabdi ‘ala kadarnya’ untuk menggugurkan beban, dan tak kalah penting yaitu bisa berpikir modern dan profesional. Modern dan profesional mutlak tidak dapat ditawar dalam iklim peruguruan tinggi.
Teringat tiga hal krusial yang disampaikan oleh Rektor Unusa, Profesor Achmad Jazidie, saat beliau baru menjabat Rektor di periode pertama. Pertama, perguruan tinggi (PT) harus memunyai instrument tata kelola (statuta) yang disusun berdasarkan tradisi perguruan tinggi. Kedua, PT harus memunyai SDM (Dosen) yang berkualitas, berbicara dosen berkait dengan Tri-Dharma Perguruan Tinggi, selain mengajar dan melakukan pengabdian masyarakat dosen harus mampu meneliti.
Menurutnya, PT tanpa penelitian tidak ada bedanya dengan pendidikan dasar menengah, bahkan penelitiannya harus berkualitas. Ketiga, infrastruktur yang baik memadai disamping membangun kerjasama harus ada pengalokasian sengaja untuk tiga hal tersebut. Beliau dengan tim bekerja keras untuk melaksanakan ini kerja keras itu saat ini membuahkan hasil, Unusa menjadi unggul.
Terakhir yang ingin saya sampaikan tentang “cinta” yang menjadi dasar dalam kehidupan. Kampus yang menjadi pusat intelektual diharapkan mampu memancarkan kasih sayang, yaitu memanusiakan manusia. Karena tidak ada yang lebih mulia kecuali menjadi manusia. Kedalaman ilmu dan kegairahan intelektual tidak boleh membenamkan cinta. Intelektual dan cinta harus diramu sehingga misi Rahmatal lil A’alamin benar-benar menjadi nyata. Seperti puisi iqbal di bawah ini.
“Di Barat, intelek adalah sumber kehidupan. Di Timur, cinta adalah dasar kehidupan. Melalui cinta, intelek tumbuh berkenalan dengan realitas, dan intelek memberikan stabilitas kepada kerja cinta. Bangunlah dan letakkan pondasi sebuah dunia baru, dengan mengawinkan intelek pada cinta”.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Pendidikan Universitas NU Surabaya.