JAKARTA, Clickindonesiainfo.id,- Tindak Pidana Perdagangan Orang belakangan ini marak menjadi Perbincangan Ellite di Republik ini hingga Presiden memerintahkan Kapolri untuk berantas Sindikat Mafia TPPO dalam kurun waktu 1 Bulan dan memasukan agenda Pembahasan TPPO ke dalam KTT ASEAN.
Demikian juga dengan Menkopolhukam yang lebih awal mengangkat isu kasus TPPO dan menyatakan Perang Melawan Sindikat Mafia Perdagangan Manusia.
Lain halnya dengan Kepala BP2MI Beny Rhamdani yang juga menyatakan Perang Melawan Sindikat Mafia TPPO tetapi belum pernah ada kasus yang dilaporkan kepada Kepolisian yang sampai ke metà hijau, apakah hal ini ada unsur kesengajaan atau memang benar Para Pelaku Sindikat Mafia TPPO ini terbilang licin? Wallahualam.., mungkin bisa juga para Pelaku TPPO mampu membeli oknum aparatur Negara sehingga dengan leluasa mereka menjalankan bisnis kotornya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa Prinsip yang perlu dipahami tentang Perdagangan orang,
- khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas;
- Perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tdak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
- Keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tndak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tndak pidana perdagangan orang;
Dalam UU No.21 Tahun 2007 Pasal 1 berbunyi;
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
3. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
4. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
6. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baikmerupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
7. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
8. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan
pelacuran dan percabulan.
9. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
10. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
11. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
12. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.
13. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
14. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
15. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang
Melihat bunyi Pasal 1 ayat 15 UU No.21 Tahun 2007, Penulis ingin mengungkap modus Penjeratan Hutang yang dihalalkan oleh Keputusan Kepala BP2MI yang bertentangan dengan UU No.18 Tahun 2017 Pasal 30.
Ada Regulasi yang Salah
Regulasi yang salah kaprah telah menimbulkan Stagnasi Penempatan PMI Resmi dan menimbulkan terjadinya Praktik Penjeratan Hutang yang merupakan salah satu unsur dari TPPO yang dijadikan Bancakan oleh para Sindikat Mafia Ijon Rente yang kini mendapatkan tempat dan diberikan ruang untuk melakukan aksinya kepada PMI melalui kebijakan yang dikeluarkan seperti Keputusan Kepala BP2MI No.786 Tahun 2022, dan Kepka BP2MI No.328 tahun 2022 yang pernah di gugat oleh LBH LP-KPK pada 4 Februari 2022 dan sebelumnya telah dilayangkan Surat Keberatan Banding Administrasi atas Keputusan kepala BP2MI tersebut diatas, namun dengan panik Beny Rhamdani bergegas mencabut Kepka tersebut dan menggantinya dengan Kepka BP2MI No.50 Tahun 2023 pada 15 Februari 2023 dengan membebankan biaya penempatan kepada PMI sekitar 23 jutaan rupiah atau lebih tinggi 5 jutaan nilainya dari Kepka No.328 Tahun 2022 yang nilainya sekitar 17 jutaan rupiah yang menjadi beban PMI, sehingga para CPMI beserta keluarganya harus berpura-pura bayar lunas kepada Perusahaan P3MI melalui pinjaman pihak ketiga yang berkedok Koperasi Simpan Pinjam (KSP) sementara sumber dana KSP tersebut berasal dari KUR / Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang disubsidi Pemerintah, namun subsidi bunga ini justru dinikmati oleh para Bandar Sindikat Mafia Ijon Rente yang memiliki Finance di Luar Negeri seperti Taiwan dan Hongkong, yang kemudian melakukan Collection Pemotongan Gaji selama 6 bulan hingga 9 bulan di Taiwan dan Hongkong dengan memberikan barcode setoran kepada CPMI saat menandatangani surat pernyataan Biaya dan Gaji yang tertuang dalam Kepka BP2MI No.328 Tahun 2022 yang kemudian disetorkan melalui Seven Eleven, sedangkan di Indonesia mereka membuat legalitas koperasi simpan pinjam untuk menalangi biaya penempatan yang telah dituangkan di dalam Surat Pernyataan Biaya dan Gaji (SPBG) keputusan kepala BP2MI No.328 tahun 2022, Kepka 786 Tahun 2022 dan Kepka No.50 Tahun 2023.
Hal ini tentunya bertentangan dengan Peraturan Kepala BP2MI No.9 Tahun 2020 yang dibuatnya sendiri tentang Pembebasan Biaya Penempatan kepada PMI untuk 10 jenis jabatan yang wajib ditanggung oleh Pemberi Kerja, dan merupakan Amanat dari Undang-undang No.18 Tahun 2017 Pasal 30 ayat 2, sedangkan bunyi Pasal 30 ayat 1 “Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebankan Biaya Penempatan” jadi sangat jelas Keputusan Kepala BP2MI No.328, 786, tahun 2022 dan No.50 Tahun 2023 sangat bertentangan dengan Undang-undang. Oleh karena itulah banyak para PMI terjebak Penjeratan Hutang dan para pelaku Penempatan atau Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) terjebak Overcharging dan TPPO.
Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan telah melakukan Gugatan ke PTUN demi menyelamatkan PMI beserta keluarganya yang dijadikan bancakan Penjeratan Hutang oleh komplotan para Sindikat Mafia Ijon Rente melalui kebijakan yang dibuat oleh Beny Rhamdani selaku Kepala BP2MI.
Penjeratan Hutang secara sepihak kepada PMI beserta keluarganya adalah bentuk eksploitasi yang merupakan satu bagian dari Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Beny Rhamdani selaku kepala BP2MI ini telah memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 8 Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Oleh karena itu penulis selaku Aktifis dan Pemerhati Kebijakan Pemerintah dan Pekerja Migran sangat mendukung Komitmen Menkopolhukam Mahfud MD untuk Memerangi Sindikat Mafia Perdagangan Orang tanpa pandang bulu termasuk keterlibatan para oknum pejabat tinggi negara dan kami siap memberikan keterangan dan bukti-bukti kongkret untuk membongkar semua praktek busuk para Sindikat Mafia TPPO dan juga Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundry) dari bisnis ilegal perdagangan manusia (Human Traficking)
Sekelompok Pemain Penempatan Unprosedural mendukung Kebijakan kepala BP2MI yang salah kaprah tersebut, terus berupaya agar bisnis kotornya memperjual-belikan anak bangsa dan melakukan Penjeratan hutang dapat terus berpestapora meraup keuntungan dari penempatan Pekerja Migran ilegal tanpa Perlindungan.
Mereka mulai mendramatisir bahwa Penempatan Non Prosedural disebabkan Kebijakan Moratorium melalui Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 dengan tujuan agar penempatan ke Timur Tengah dibuka tanpa solusi tanpa sistem, maka seluruh permasalahan terdahulu akan kembali terulang dimasa mendatang.
Pemerintah melalui Kemnaker telah memberikan solusi bagi penempatan PMI ke Timur Tengah melalui Kepmenaker Nomor 291 Tahun 2018 dengan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) agar Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dapat maximal dan tidak langsung di dalam kekuasaan Majikan melainkan ada Syarikah yang menaunginya agar tidak di eksploitasi, namun para Kelompok Sindikat Mafia ini selalu memframing sistem tersebut adalah kartel Monopoli, padahal telah melalui proses seleksi yang sangat ketat dan terbuka sesuai dengan Perundangan.
Negara Harus Hadir untuk PMI
Upaya Pemerintah memberikan Perlindungan kepada para Pekerja Migran Indonesia perlu di Apresiasi, sebagai contoh Penempatan ke Timur Tengah yang pada masa terdahulu banyak terjadi permasalahan, sehingga banyak dari Duta Besar RI di negara-Negara di Timur Tengah mengusulkan moratorium dan dinilai perlu dihentikan sementara waktu melalui Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 dan kemudian diterbitkan Kepmenaker No.291 Tahun 2018 tentang Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) sebagai Solusi agar Permasalahan terdahulu tidak terulang kembali dimasa mendatang. Namun para Kelompok Sindikat Mafia TPPO dan Ijon Rente tidak menyukai Kebijakan tersebut, mereka para Kelompok Sindikat menginginkan program SPSK gagal total, mereka memberikan Imin-iming uang saku kepada CPMI hingga 15 juta rupiah dan para calonya 10 juta rupiah, ditotalkan mencapai 25 juta rupiah perorang untuk mendapatkan supply CPMI, tujuannya agar Pelaksanaan Penempatan Resmi melalui program SPSK tidak berjalan, bahkan mereka sanggup membayar NGO untuk meneriakan moratorium dicabut tanpa ada Solusinya, Hal ini jelas akan mengakibatkan permasalahan terdahulu akan terulang kembali dimasa mendatang.
Para pelaku penempatan harus memberikan pemikiran melalui assosiasi berupa konsep sistem yang lebih simple tetapi kompleks dan terintegrasi sebagai formula baru untuk diuji coba sehingga mencipkatan proses Dokumen pra Penempatan menjadi mudah, murah, dan cepat, sehingga tidak ada lagi PMI yang menempuh jalan pintas karena sebuah sistem menjadi primadona bagi para P3MI dan juga para PMI beserta keluarganya.
Penulis : AMRI ABDI PILIANG
Wasekjend 1 Komnas LP-KPK
Presiden Jokowidodo, Menkopolhukam Mahfud MD, Menaker Ida Fauziah, Kepala BP2MI Beny Rhamdani, Komnas LP-KPK, DPP APJATI