Oleh: Wijianto, S.E.
Background Kebijakan Makropudential Ekonomi Hijau
Berdasarkan data, peran kebijakan Makroprudensial dalam menyokong Ekonomi
Hijau dan Kebijakan keuangan Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan masih sangat penting dan signifikan. Karena itu, saya menilai kesiapan dan akselerasi pengembangan Kebijakan Makropudential terutama dalam mengintegrasikan dan melihat bagaimana dalam kebijakan dapat membantu memitigasi risiko terkait perubahan iklim. risiko terkait iklim ke dalam agenda Kebijakan Makroprudential, akan menjadi penentu kesuksesan pelaksanaan Kebijakan keuangan Indonesia yang berkelanjutan.
Dampak risiko terkait dengan perubahan iklim telah menjadi momok destabilisasi sistem keuangan yang sangat genting terhadap seluruh perekonomian. Ancaman ini telah mendorong semakin banyak pemangku kepentingan di bidang keuangan global untuk lebih mengintegrasikan penilaian perubahan iklim ke dalam proses sistem manajemen risiko.
Meningkatnya keterlibatan bank sentral dan otoritas makroprudensial, pada dasarnya telah memainkan peran sebagai koordinasi dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon, dapat mempercepat proses ini.
Selain itu, pertimbangan perubahan iklim semakin membentuk tinjauan strategi kebijakan moneter dan manajemen cadangan bank sentral. Beberapa bank sentral juga telah melihat bagaimana kebijakan makroprudensial dapat membantu memitigasi risiko terkait perubahan iklim.
Di Asia, Jaringan Bank Sentral dan Pengawas untuk Penghijauan Sistem Keuangan, telah dibentuk sejak tahun 2017, yakni terdiri dari Bank Sentral Kamboja, Republik Rakyat Tiongkok (RRC), Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang telah secara resmi mengidentifikasi risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Terlepas dari adanya ini, diperlukan tindakan yang lebih tegas dan proaktif dari bank sentral untuk memberikan dukungan yang efektif bagi transisi ke ekonomi rendah karbon.
Data menunjukkan bahwa, berdasarkan laporan Global Carbon Project emisi karbon tercatat sebesar 40,5 GtCO2 pada 2022 karbon dioksida (GtCO2) pada 2022, Jumlahnya telah mengalami kenaikan 15,9 GtCO2 sejak 1959.
Sementara ditahun yang sama peningkatan emisi terbesar pada tahun 2022 berasal dari sektor pembangkitan listrik dan panas yang mengalami kenaikan emisi sebesar 1,8 persen. Cuaca ekstrem seperti kekeringan dan gelombang panas telah menjadi factor penyumbang yang signifikan.
Selama periode 1959-2022 emisi karbon tercatat mendominasi 90,37% berasal dari bahan bakar fosil dan industri yang tercatat sebesar sampai 36,6 GtCO2 pada 2022. Selama periode tersebut, porsi emisi karbon rata rata tercatat meningkat sekitar 0,69% per tahun.
Peran Penting Kebijakan Makroprudential
Peran Kebijakan Makroprudential tercatat akan signifikan. Kerangka kerja kebijakan yang efektif untuk memantau risiko sistemik merupakan elemen penting dari perangkat makroprudensial. Selain itu, di antara berbagai indikator risiko, stress test makroprudensial akan memainkan peran kunci.
Stress test akan mempertimbangkan interaksi antara situasi yang memburuk di sektor keuangan dan ekonomi riil. Untuk memperhitungkan risiko iklim sistemik dengan lebih baik, perlu mengintegrasikan dampak perubahan iklim ke dalam uji stres makro ini.
Beberapa studi penelitian sudah dilakukan. Misalnya, peneliti Vermeulen dari bank sentral Belanda telah menilai dampak pilihan skenario transisi pada sektor keuangan negara, menyimpulkan bahwa dampaknya akan signifikan (Vermeulen et al., 2018).
Untuk Indonesia, saat ini kebijakan makroprudential telah tercatat memiliki peran penting dalam menyokong ekonomi hijau, permintaan green bond di Indonesia sudah meningkat dengan adanya kebijakan tersebut dan diproyeksikan akan masih tetap penting dalam masa depan keuangan Indonesia. Menurut Bank Indonesia menjelaskan bahwa, hal itu tercermin dari penerbitan sukuk global di tahun 2022 yang mencapai USD 5 miliar, hingga terbitnya SDGs Bond senilai Rp 2,2 miliar.
Pada tahun yang sama, Bank Indonesial juga telah memperkenalkan rasio pembiayaan inklusif makroprudensial untuk meningkatkan minat penerbitan green bond dengan memperbolehkan perbankan memenuhi rasio pembiayaan dengan pembelian green bond, Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan makroprudensial telah berdampak pada keuangan hijau.
Pengembangan kerangka kebijakan makroprudential disebut akan memiliki sejumlah keunggulan dan dapat ditingkatkan untuk mendukung transisi hijau yang di antaranya adalah: pertama, Alat kebijakan untuk memantau risiko sistemik. Tes stres terkait iklim dalam menghitung hubungan antara perubahan iklim, dampak iklim, dan kondisi sosial-ekonomi.
Kedua, Capital requirements. Faktor penyesuaian iklim yang mengubah bobot risiko yang berlaku untuk green versus brown assets and activities. Sebagai Penyangga modal counter-cyclical untuk mendorong stabilitas keuangan dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Ketiga, Leverage requirements Sebagai Persyaratan rasio leverage sektoral berlaku untuk brown assets and activities. Untuk membatasi hutang bank sehubungan dengan brown assets and activities.
Keempat, Rasio cakupan likuiditas yang berbeda dan rasio pendanaan stabil bersih, untuk memberikan preferensi pada green versus brown assets and activities. Memfasilitasi pembiayaan aset dan aktivitas hijau, dan memperlambat pembiayaan brown assets and activities.
Ekonomi Hijau di Pasar Global dan Indonesia
Penerbitan obligasi hijau Negara Eropa memimpin pada tahun 2020, dengan total gabungan sebesar USD 156 miliar. Emiten Asia-Pasifik menyumbang USD 53,2 miliar, atau 18,4%, dari penerbitan obligasi hijau global pada tahun 2020 (Gambar 1), meskipun penerbitan menurun di kawasan ini dari USD 65,1 miliar pada tahun 2019. Penerbitan obligasi hijau terbatas terjadi di luar Eropa, Amerika Utara, dan Asia-Pasifik pada tahun 2020.
Berdasarkan negara, penerbitan green bond terbesar pada tahun 2020 ditujukan PDB domestik kepada negara di Singapura (1,6%), diikuti oleh China (0,8%) dan Filipina (0,6%). Obligasi hijau adalah sumber pembiayaan penting lainnya untuk investasi ramah iklim. Sementara penerbitan green bond di kawasan Asia-Pasifik telah tumbuh sejak 2016, masih tertinggal dari volume penerbitan di Eropa dan Amerika Utara.
Transisi menuju ekonomi rendah karbon memerlukan upaya investasi besar, khususnya, untuk memungkinkan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan untuk memastikan ketahanan sistem energi terhadap perubahan iklim.
Menurut Asia Development Bank menjelaskan bahwa, tekanan yang telah diberikan COVID-19 pada ruang fiskal di negara-negara berkembang Asia, seperti pandemi yang terjadi telah menyebabkan tingkat utang pemerintah meningkat membuat semakin pentingnya untuk memobilisasi modal swasta untuk transisi ke ekonomi rendah karbon.
Selain itu, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk mengatasi dampak kesehatan dan sosial dari pandemi, selain dampak ekonomi, menyiratkan bahwa pemerintah di Negara Berkembang Asia memiliki lebih sedikit sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan (ADB, 2021).
Lebih lanjut, Baik keuangan maupun non-keuangan, merupakan kontributor terkuat penerbitan ekonomi hijau pada tahun 2020, dengan melanjutkan tren yang telah ditujukan pada laporan data tahun 2018 dan 2019.
Korporasi non-keuangan mengeluarkan USD 64,7 miliar pada tahun 2020, atau 22,2% dari total, sedangkan korporasi keuangan mengeluarkan USD 55,6 miliar, setara dengan 19,1% dari total. Ketika sektor korporasi dikecualikan, entitas yang didukung pemerintah mencatatkan total tertinggi pada tahun 2020, dengan 22,1% dari total penerbitan.
Dalam hal penggunaan hasil, energi dan bangunan terus memimpin pada tahun 2020, dengan masing-masing 35,8% dan 26,6% dari total penerbitan (Gambar 3). Transportasi tetap menjadi kategori tertinggi ketiga, sebesar 23,2%, diikuti oleh proyek air, yang menyumbang 6,5% dari penerbitan.
Untuk mendukung kebijakan ini, Proyeksi Kemenko Perekonomian telah menyebutkan bahwa Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon telah tertuang dalam UU No. 71 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, sekitar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Indonesia menetapkan target Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat jika mendapat dukungan internasional. Pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon.
Ekonomi hijau dalam dokumen perencanaan telah dimasukkan dalam RPJMN 2020-2024 dengan tiga program prioritas, yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbonAnggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN, dimana 88,1% di antaranya dibelanjakan dalam bentuk infrastruktur hijau sebagai modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah membangun fondasi penerapan ekonomi hijau yang didukung oleh beberapa kebijakan strategis.
Aspek Risiko Perubahan Iklim dan Persiapan Kebijakan Stabilitas Keuangan
Meskipun memiliki berbagai peran penting dan manfaat Kebijakan Makroprudential, menurut OECD menjelaskan bahwa dengan meningkatnya perubahan iklim kemungkinan akan berdampak buruk pada sektor keuangan, dan tentu saja pada stabilitas keuangan. Risiko terhadap sistem keuangan dan stabilitas keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar. Yang pertama mencakup risiko fisik, sedangkan yang kedua mencakup risiko yang berasal dari transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Transisi Risiko dihasilkan dari dampak langsung perubahan iklim terhadap manusia dan aset. Sebagai hal yang masih tergolong “baru” bagi Indonesia, beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti manajemen risiko dari aktivitas perubahan Iklim sangat perlu disiapkan transisi mitigasinya agar tidak menimbulkan gangguan pada stabilitas sistem keuangan.
Peranan BI, OJK, LPS dan Lembaga ekonomi dan keuangan pemerintah perlu terus disinergikan untuk memitigasi berbagai transisi risiko yang muncul dari kebijakan. Artinya akan terdapat tugas dan peran penting yang besar untuk keberhasilan implementasi kebijakan macroprudential dalam menyokong Ekonomi Hijau adalah pemetaan dan penciptaan kerangka makroprudensial untuk dapat ditingkatkan untuk mendukung transisi hijau karena kebijakan ekonomi hijau di Indonesia yang masih relatif rendah yang ditujukan dalam laporan green bond tahunan dibandingkan dengan negara asia lainnya (Bloomberg, 2023). Riset mengenai ekonomi hijau terhadap stabilitas keuangan juga perlu ditingkatkan.
Pada akhirnya, persiapan utama dibutuhkan dari dukungan regulasi/kerangka kebijakan termasuk SDM, peranan pendukung seperti lembaga ekonomi dan keuangan yang dapat berperan sebagai game changer untuk mewujudkan kestabilan keuangan yang berbasis ekonomi hijau dan manajemen resiko untuk pembentukan ekosistem transisi stabilitas keuangan.
Kebijakan macroprudential tercatat sebagai kontributor utama dalam peningkatan stabilitas keuangan dalam menyokong ekonomi hijau. Data dan informasi yang ada tersebut telah menegaskan bahwa Kebijakan Makroprudential masih dan akan memiliki peran penting dalam transisi pelaksanaan ekonomi hijau baik didunia maupun di Indonesia.
Dalam perkembangannya Kebijakan Makroprudential kedepannya akan memiliki peran yang lebih penting sebagai jembatan dalam pelaksanaan transisi stabilitas keuangan dari ekonomi konvensional menuju ke ekonomi hijau yang lebih bermanfaat.
*Penulis adalah Awardee LPDP-RI, Santri PMIC Biyadikal Khair, Mahasiswa S2 - Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia, dan Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI.(red)