Iklan VIP

Redaksi
Jumat, 16 Juni 2023, 10:51 WIB
Last Updated 2023-06-16T03:51:40Z

Pekerja Sosial Dalam Kontestasi Politik



Oleh : Dadang Setiawan, S. Sos.

Dalam perspektif seorang social worker bernama Barbara Ann Mikulski, politik adalah sebuah pekerjaan sosial dengan kekuasaan. Artinya, Barbara memandang bahwa politik dan pekerjaan sosial bukan dua hal yang dikotomis. Politik bisa dipersepsikan sebagai pekerjaan sosial dalam skala makro. Bekal literasi sosial sebagai social worker kemudian dibawa politikus perempuan itu saat menjadi senator di Amerika Serikat.

Cara Barbara dalam memaknai politik tersebut bisa dijadikan inspirasi oleh semua peserta kontestasi politik 2024. Dengan perspektif bahwa politik termasuk bagian dari pekerjaan sosial, kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai kesempatan besar untuk melakukan penyalahgunaan (corrupt) sebagaimana teori Lord Acton.

Memang tidak berarti lingkaran kekuasaan politis harus didominasi oleh mereka yang memiliki latar belakang sebagai pekerja sosial. Namun setidaknya calon elit kekuasaan dalam sistem demokrasi perlu membekali diri dengan literasi sosial yang menjadi modal utama para pekerja sosial saat memasuki arena politik.

James Arthur dan Jon Davison mengemukakan pendapatnya bahwa, literasi sosial melibatkan proses belajar untuk memahami dan menafsirkan berbagai permasalahan sosial yang harus dihadapi dalam kehidupan. Proses belajar tersebut bukan hanya diperoleh dengan cara membaca fakta dan data yang terungkap secara tekstual, melainkan juga melalui persentuhan  langsung ke masyarakat dalam durasi yang tidak singkat.

Kemampuan membaca permasalahan di masyarakat sangat dibutuhkan oleh pemegang kekuasaan agar diskusi tentang demokrasi tidak hanya berbicara soal proses pemilihan. Mengacu pada pendapat Abraham Lincoln, demokrasi dapat diartikan sebagai suatu pemerintahan yang berdasar atas legitimasi dari rakyat, oleh rakyat dan seharusnya berorientasi pada kebaikan rakyat.

Sebagai sebuah sistem hasil pemikiran manusia, demokrasi bukan tanpa kritik. Salah satu kritik paling menarik datang dari Plato. Menurut pendapatnya, demokrasi tidak menjamin lahirnya pemimpin dengan kualitas terbaik untuk mengatur urusan publik.
 
Plato bahkan menyebut demokrasi sebagai sistem irasional karena rakyat yang tidak sama tingkat keahliannya memiliki kebebasan penuh untuk melahirkan pemimpin bukan atas dasar kapabilitas, melainkan semata-mata karena kehendak suara paling keras atau paling dominan.

Secara sederhana Plato menggunakan metafora kapal yang berisikan sekelompok orang. Di antara sekian banyak orang itu, hanya satu yang memiliki keahlian di bidang navigasi kapal sedangkan yang lain buta navigasi tetapi merasa mampu mengemudi kapal. Akhirnya atas nama suara terbanyak, satu-satunya orang yang ahli navigasi tadi tidak terpilih karena tidak mendapat dukungan.

Kritik Plato terhadap demokrasi sesungguhnya adalah impact dari lemahnya literasi sosial para pemegang kekuasaan. Akibatnya demokrasi terhenti hanya sampai proses pemilihan sedangkan produk legislasi dan kebijakan eksekutif cenderung oligarkhis.

Bekal popularitas mungkin sudah cukup membuat seorang calon memiliki elektabilitas untuk menuju ke kursi kekuasaan. Namun tanpa literasi sosial yang kuat, calon pemegang kekuasaan akan tergagap-gagap saat mempresentasikan gagasannya ke ruang publik. Setelah memegang kekuasaan, orang yang lemah literasi sosialnya juga akan kesulitan saat meracang public policy yang solutif terhadap permasalahan sosial di masyarakat.

Hanya saja, tidak bisa dinafikan adanya stereotipe bahwa kekuasaan cenderung korup, kotor dan bisa mendegradasikan jiwa malaikat menjadi setan membuat pekerja sosial tidak tertarik untuk memasuki wilayah politik praktis. Tidak sedikit aktivis sosial yang terkesan alergi dan tidak siap menerima stigma sebagai aktivis pragmatis bila mencoba berjuang di jalur politik praktis.

Karena itulah perlu adanya rekonstruksi mindset para aktivis sosial bahwa, politik praktis bukan zona larangan. Bagaimanapun juga, kepentingan rakyat akan diatur melalui peraturan perundang-undangan yang dilahirkan oleh pemegang kekuasaan legislatif maupun eksekutif.

Mengutip perkataab Presiden Turki, Recep Erdogan, bila orang baik tidak ada yang mau berpolitik, maka orang-orang jahatlah yang akan mengisinya. Bila kekuasaan akan didominasi oleh orang-orang yang tidak memiliki literasi sosial, cita-cita memajukan kesejahteraaan umum hanya akan menjadi tulisan di preambule konstitusi. 

Bila semua pekerja sosial memilih berada di luar kekuasaan, bisakah diharapkan akan lahirnya kebijakan yang berpihak pada fakir miskin, melindungi anak-anak dari penelantaran, perundungan dan komersialisasi, serta berpihak pada penyandang disabilitas?
 
Dalam sistem demokrasi yang bersifat partisipatoris, pekerja sosial memang masih bisa menjalani peran di luar kekuasaan sebagai sebuah kekuatan independen. Selain melakukan social control, kekuatan ekstra parlementer akan menjadi pemberi masukan kepada pemegang kekuasaan dalam membuat kebijakan. 

Tetapi, policy makers tetaplah mereka yang ada di dalam wilayah politik praktis. Tidak ada garansi bahwa semua masukan dari para aktivis akan dijadikan acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

Dengan semua pertimbangan tersebut, masuknya pekerja sosial dalam sebuah kontestasi politik tidak layak dihakimi sebagai pilihan sikap yang naif. Selama tetap memelihara motivasi untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan sosial, pilihan untuk berpolitik praktis tetaplah sikap idealis. 

Dibandingkan dengan para selebriti politik, pekerja sosial mungkin kalah dari sisi popularitas. Seperti halnya Barbara Ann Mikulski, pekerja sosial bisa hadir untuk menawarkan gagasan solutif yang terbentuk dari pemahaman terhadap masalah riil di masyarakat. Gagasan itulah yang diharapkan akan bisa menjadikan kekuasaan dalam sistem demokrasi bermuara pada peningkatan kualitas hidup rakyat.

*Penulis adalah Pekerja Sosial, Ketua Yayasan Gerak Cintai Anak Indonesia.