Iklan VIP

Redaksi
Senin, 26 Juni 2023, 09:01 WIB
Last Updated 2023-06-26T02:02:21Z

DPD GMPK Jatim Gelar Diskusi Publik : Uji Performa Demokrasi Indonesia di Pemilu 2024

Foto : Suasana diskusi publik DPD GMPK Jatim di kabupaten Malang


MALANG, Clickindonesiainfo.id - Para aktivis yang tergabung dalam organisasi Gerakan Mahasiswa dan Pelajar Kebangsaan (GMPK) Jatim, menggelar diskusi dengan tema “Demokrasi Pemuda: Menguji Peforma Demokrasi Indonesia Menuju Transisi Kepemimpinan Di Pemilu 2024” yang digelar di kabupaten Malang. Sabtu, (24/6/2023).

Diskusi tersebut menghadirkan tiga pemateri yakni Chusni Mubarok sebagai Politisi Muda, Arya Widtantra sebagai Ketua DPD GMPK Wilayah Jawa Timur, dan Satria Naufal sebagai Presma Fisip Universitas Brawijaya. 

Kegiatan tersebut mengupas tentang demokrasi Indonesia dan meneropong permasalahan-permasalahan demokrasi dari sudut pandang anak muda. Seperti di pemilu 2019, masyarakat mengalami polarisasi dan keadaan masyarakat pada waktu itu penuh dengan gesekan sosial. 

Arya mengungkap nasib demokrasi maka hanya akan mengarah pada 2 poin penting demokrasi yaitu penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Pelemahan demokrasi memiliki 2 karakteristik yaitu, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian resurgence) dan karakteristik kedua yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy”
Kecenderungan inti post-democracy pada umumnya terjadi di Indonesia. 

“Inilah yang menyebabkan secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan dikangkangi oleh kekuatan oligarki yang sulit ditandingi. Ini terjadi baik pada level nasional maupun lokal. Dengan kondisi demikian, munculah sebuah demokrasi tanpa demos,” jelasnya.

Fenomena ini, menurut Arya, bukan hanya terjadi pada saat ini, namun telah memiliki gejala-gejala sejak awal reformasi. Tercermin dari berbagai istilah yang diberikan oleh beberapa pemerhati politik Indonesia, seperti “Delegative Democracy” (Slatter 2004), “Patrimonial Democracy” (Weber 2006), “Patronage Democracy” (Klinken 2009), “Political Cartel” (Ambardi 2009), “Clientelism” (Aspinal dan Berenschot 2019; Rahmawati 2018), dan “Oligarchy” (Bunte and Ufen 2009, Hadiz and Robison 2004, Winters, 2011). 

“Mengikuti perasaan kenegaraan masyarakat Indonesia yang dipenuhi energi demokrasi, namun belum terkatalisasi dengan baik, maka 2024 adalah titik penting dimulainya ide pemecahan solusi, dari ratusan konflik demokrasi pasca pemilu terakhir 2019 hingga hari ini,” tegas dia.

Problem demokrasi era disrupsi sudah menjadi suatu kebiasaan yang biasa saja terjadi di semua kalangan masyarakat. Diskusi cebong dan kampret yang terjadi di masa demokrasi periode lalu merupakan fenomena baru yang membuat masyarakat Indonesia belajar betapa zaman telah bergeser pada kondisi politik yang keruh dan mempolarisasi masyarakat indonesia kala itu. 

Meskipun fenomena ini, lanjut Arya makin terdegradasi oleh kesadaran masyarakat akan objektifitas di media namun hal ini tak pelak menimbulkan pertanyaan, dari mana dan sampai kapan.

“Tentunya Negara harus hadir sebagai perwujudan utuh dalam satu cita cita bangsa Indonesia yang melindungi segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian dunia,” tukasnya.

Pada pemilu 2024 yang akan kita hadapi sebentar lagi, tentu prosesnya akan menjadi tolak ukur perkembangan masyarakat demokrasi kita di era disrupsi, di era informasi yang serba cepat. 

Tahapan pemilu yang sudah berjalan menuju 14 Februari 2024 secara ideal harus dimaknai oleh masyarakat indonesia sebagai perjalanan menentukan nasib bangsa sehingga penting untuk masyarakat Indonesia berpartisipasi aktif, menjaga bersama jalannya setiap tahapan pemilu supaya tetap berdiri pada konstitusi negara, bersih, jujur, dan adil.

Pada akhirnya, lebih lanjut Arya, garis finish pemilu 2024 akan menjadi agenda besar masyarakat Indonesia yang menunjukkan idealitas pemilu sebagai keutuhan suara rakyat Indonesia.

“Polarisasi yang pernah terjadi di negeri ini harus menjadi pelajaran penting untuk kita semua untuk menjaga guyub rukun dalam bernegara dalam itikad bersama membangun bangsa. Dan tentu sebagai sarana integrasi bangsa, pemilu harus mampu, kembali menyatukan masyarakat dalam satu bingkai persatuan dan kesatuan demi kemajuan bangsa Indonesia,” tutup Arya. 

Dalam akhir giat diskusi ini teman-teman BEM dan GMPK menyimpulkan satu gambaran besar tentang masa depan demokrasi di Indonesia untuk dapat disempurnakan oleh generasi muda pada saat ini. (tit/ari)