Iklan VIP

Redaksi
Senin, 22 Mei 2023, 23:48 WIB
Last Updated 2023-05-22T16:48:26Z

PRABOWO ANTARA FITNAH DAN KEKUASAAN

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersama Amri Abdi Piliang saat Perayaan Hut Gerindra di Kantor DPP Gerindra Jakarta Selatan


PRABOWO ANTARA FITNAH DAN KEKUASAAN


Oleh : AMRI ABDI PILIANG

Wasekjend 1 Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP-KPK)

Dirut Clickindonesiainfo.id Mediatama


Clickindonesiainfo.id,- JAKARTA, Entah kenapa, dua diksi pada judul diatas (Fitnah dan Kekuasaan), dalam kehidupan politik seakan menjadi dua diksi kata yang di takdirkan selalu bersama.


Tidak saja pada era kontemporer, sejak zaman para Nabi yang di riwayatkan berbagai macam literasi dan kitab, juga begitu.


Nabi Ibrahim di tuduh gila karena merusak patung berhala sembahan Raja Namrud. Nabi Musa yang juga di tuduh “syirik, khianat, dan gila” karena menentang Raja Fir’aun yang mengaku Tuhan. Hingga Nabi Muhammad SAW, yang di tuduh gila, tukang sihir, pembawa berita bohong, karena membawa ajaran Islam yang bertentangan dengan agama bangsa Arab ketika itu.


Di bumi Nusantara ini dalam fakta sejarah yang tercatat juga demikian. Mulai dari masa kerajaan kerajaan Nusantara yang berperang hanya karena fitnah seorang perempuan, pada masa sebelum kemerdekaan penjajahan Belanda, bagaimana Panggeran Diponegoro, Tuaku Imam Bonjol, di fitnah extrimis dan pemberontak karena menentang Penjajahan Belanda.


Belum lagi kalau kita deretkan, puluhan para tokoh nasional pejuang, pahlawan nasional, yang di tuduh pemberontak, radikal, anti revolusioner, seperti Soekarno-Hatta, St Syahrir, Buya Hamka, Buya Muhammad Natsir, hingga pejuang kemerdekaan Indonesia 100 perden Tan Malaka yang terbunuh oleh senapan anak bangsanya sendiri yang baru saja dia merdekakan.


Di era yang katanya sudah menganut paham kebebasan dan demokrasi ini, ternyata duet diksi kata antara fitnah dan kekuasaan tidak berhenti. Berapa banyak para aktifis, ulama, tokoh pejuang yang masuk penjara atas tuduhan menebar berita bohong dan penghasutan. Padahal, mereka hanya menyampaikan sebuah kebenaran dan kritik atas pemerintahan yang katanya menjunjung demokrasi.


Artinya, demikianlah dinamika kehidupan manusia ketika masuh kedalam ranah yang bernama politik kekuasaan. Sebuah dunia yang bisa menjadi cahaya tetapi juga menjadi sumber malapetaka bagi bangsanya sendiri.


Instrumental antara fitnah dan kekuasaan ini juga yang tidak henti-hentinya menimpa sebuah sosok figur bernama Prabowo Subianto.


Di saat Orde Baru berkuasa, PS selalu di asosiasikan menjadi penerus kepemimpinan “tangan besi” militeristik Soeharto. Faktanya, PS justru jadi korban politik, sehingga PS di berhentikan dengan hormat oleh DKP (Dewan Kehormatan Perwira), atas tuduhan upaya makar dan pelanggaran HAM.


Setelah era reformasi, PS kembali yang sebelumnya di fitnah tangan besi, militeristik, dan anti demokrasi, di tuduh sebagai penjahat kemanusiaan dan pelanggar HAM. Setelah ikut konvensi Golkar dan singkat kata sampai mendirikan partai politik bernama Gerindra. 


Tidak hanya sampai di situ. Ketika PS menjadi Cawapresnya Megawati pada Pilpres 2009, kembali isu HAM dan gaya militeristik di goreng dan di sematkan pada PS. Isu anti demokrasi tak ada lagi, karena buyar setelah PS buat partai politik.


Tapi PS terus bergerak bersama Parpol Gerindra yang berhasil menembus parlemen senayan. 


Begitu juga dalam dua tahapan Pilpres tahun 2014 dan 2019 kemaren. PS kembali di serang dan di fitnah dengan isu pelanggaran HAM, isu SARA karena keluarga besarnya banyak yang non-muslim, tapi anehnya, di satu sisi PS juga di cap radikal, kadrun, raja kampret, dan psikopat.


Parahnya lagi saat ini, ketika PS memilih bergabung dengan pemerintah demi bersatunya para anak bangsa yang sebelumnya terpecah belah akibat pilihan politik yang sangat tajam ? PS malah di tuduh pengkhianat, pak timbul, oppurtunis, jadi cebong, dan penjilat.


Mari kita merenung sejenak dan baca kembali rangkaian fakta sejarah yang coba di flash back kembali kebelakang. Bagaimana mudahnya sebuah tuduhan, fitnah, dalam dunia kehidupan khususnya ketika berbicara kekuasaan.


Fitnah, di satu sisi bisa menjadi racun dan senjata mematikan pada kelompok lawan, tapi kalau kita jernih melihatnya, fitnah juga bisa jadi sebuah proses filterisasi, treatman, dan reproduksi proses pembentukan karakter lahirnya seorang pemimpin. Bahkan boleh dikatakan Fitnah itu justru menjadi “DNA immunitas” bagi seorang pemimpin untuk membentuk diri dan karakternya menjadi lebih matang.


Seperti contoh dan sesuai fakta sejarah di atas. Kalau lah tak melalui rangkaian fitnah dan tuduhan keji, mana lah mungkin para Nabi begitu matang, istiqomah, dalam menyampaikan agama Allah.


Kalau tidak lah karena fitnah keji Orde Lama, Buya Hamka tak melahirkan sebuah buku tafsir Alqur’an bernama Tafsir Al Azhar. Kalau lah tidak karena tuduhan dan fitnah barat pada Nelson Mandela, manalah mungkin beliau bisa jadi Presiden setelah 28 tahun di penjara.


Kalau lah tidak karena fitnah dan tuduhan sodomi hingga di penjaranya Anwar Ibrahim di Malaysia, manalah mungkin sekarang beliau jadi perdana menteri di Malaysia.


Lalu bagaimana dengan sosok Prabowo ?? Kita bisa jawab sendiri dan menunggu. Setelah para seniornya di DKP yang memecatnya dulu akhirnya memeluk dan mendukung PS jadi Presiden sambil meneteskan air mata ? 


Belum lagi para aktifis yang dulu di tuduhkan di culik, di bunuh juga bergabung dengan partai besutan ya. Yang dulu musuh politik, sekarang justru berlindung dan mendukungnya maju kembali jadi Calon Presiden.


Namun tetap saja berbagai macam tuduhan fitnah selalu tak henti-hentinya menerpa beliau. Padahal, apalagi yang di cari seorang PS yang sedari kecil sudah bergelimang kemewahaan dan fasilitas kekuasaan ?? Kalaulah tidak karena sebuah keinginan besar untuk memperbaiki bangsa ini menjadi lebih baik, lebih makmur, sejahtera dan berdaulat penuh atas nasib bangsanya.


Bagiamanpun PS adalah seorang tentara, pasukan khusus, yang tentunya sudah tidak di ragukan lagi rasa nasionalisme dan patriotismenya.


Begitu juga dalam hal pergaulan dan kelapangan hati beliau yang tak pernah dendam, tak mau sakit hati, mudah mema’afkan mesti di khianati berkali-kali. 


Tapi itulah jati diri seorang PS. Jauh lebih mementingkan kepentingan bersama dari pada, Baper dengan sentimen pribadi. Kepentingan bangsa ini jauh kebih besar dan berharga dari pada urusan pribadi dirinya dengan siapapun.


Persatuan dan kebersamaan sesama anak bangsa, jauh lebih bermanfaat dari pada terpecah belah oleh pilihan politik. Karena untuk bangkit, bangsa Indonesia butuh kepemimpinan yang kuat dan dapat menyatukan seluruh elemen anak bangsa yang multikuktural ini.


Namanya manusia, kita tentu juga menyadari pasti tetap ada kelemahan dan kekurangan seorang PS sebagai manusia biasa. Da itu sangat wajar sekali.


Tinggal bagaimana sekarang, kita semua berpikir jernih, tenang, dan holistik. Tanya hati nurani kita, berdasarkan rangkaian ulasan singkat di atas. Bahwa antara fitnah dan kekuasaan itu adalah sebuah keniscayaan yang wajib menimpa setiap pemimpin yang memang sudah di takdirkan penguasa alam jagat raya ini untuk jadi pemimpin.


Semoga Pak Prabowo tetap istiqomah, sehat, komitmen, untuk kebaikan bangsa dan negara ini kedepannya. Dan menjadikan segala bentuk fitnah dan tuduhan itu sebagai supplemen, motivasi, dan treatman menjadi sosok figur pemimpin yang semakin matang, tangguh, dan bijaksana. InsyaAllah.


Selamat Hari Kebangkitan Nasional 


Jakarta, 22 Mei 2023.