Oleh : Denny JA
Virus jenis baru mulai meluas: Demam soal Pilpres 2024.
Seminggu ini, saya bertemu banyak kalangan yang beragam. Mulai dari teman SMA, rekan bisnis, keluarga besar, asosiasi profesi, kawan civil society, wartawan, penyair pendeta, ulama hingga sesama alumni universitas.
Di sela percakapan, selalu muncul topik yang sama: Pilpres 2024. Beragam yang dipercakapkan, mulai dari hasil survei opini publik hingga gosip politik.
Banyak yang jenaka pula mengaitkan calon presiden dan koalisi partai dengan judul atau lirik lagu.
Koalisi Indonesia bersatu, koalisi Partai Golkar, PPP dan PAN dikaitkan dengan lirik lagu “kau yang mulai kau yang mengakhiri. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari.”
Itu potongan lirik lagu dangdut terkenal: kegagalan cinta, di tahun 1980an.
Mereka menilai, ribut-ribut koalisi partai menjelang pilpres tahun 2024 dimulai oleh berdirinya KIB (Koalisi Indonesia Bersatu). Tiga partai bersatu: Golkar, PPP dan PAN. Partai lain saat itu masih tidur terlelap.
Namun koalisi ini pula yang pertama- tama melihatkan gejala berpisah. Tiga partai itu sulit sepakat soal calon presiden. PPP sudah deklarasi ke Ganjar. PAN masih wait and see. Golkar bisa ke Prabwo atau Anies sejauh memberi posisi cawapres ke Airlangga Hartarto.
Prabowo dikaitkan dengan judul lagu: It’s Now or Never. Lagu ini terkenal dinyanyikan oleh Elvis Presley, tahun 1970-an.
Jika garis tangan Prabowo menjadi presiden, tahun 2024 lah momennya. It is now. Jika gagal di pilpres 2024, maka ia menjadi It is Never.
Tahun 2029 situasi akan lebih sulit bagi Prabowo maju sebagai capres lagi, jika ia kalah di 2024.
Siapapun yang menjadi presiden di 2024, akan kembali ingin jadi presiden di tahun 2029.
Dibandingkan pilpres tahun 2014 dan 2019, kans Prabowo untuk menang paling besar di Pilpres 2024. Ini karena capres Ganjar dan Anies tak sepopuler capres Jokowi di tahun 2014 dan 2019.
Kekalahan dua kali di pilpres juga memberikan pelajaran dan pengalaman yang cukup untuk Prabowo tak gagal yang terakhir kalinya. It’s now or never justru memberi tambahan enerji ekstra padanya.
Malam itu, kami alumni dari Pittsburgh bertemu. Pittsburgh adalah nama kota di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat.
Di sana ada dua universitas terkemuka: University of Pittsburgh dan Carnegie Mellon University.
Sekitar 25 orang alumni dari dua universitas itu reuni malam itu. Kami bersama sekolah di sana 25-30 tahun lalu. Saya sendiri tamat dari University of Pittsburgh untuk S 2. Tapi S 3 saya di Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat.
Tiga puluh tahun lalu, ketika kami sekolah di sana, umumnya kami masih bujangan atau baru membangun keluarga. Kini ketika kembali berjumpa banyak yang sudah bercerita soal cucu.
Sekitar 25-30 tahun setelah kembali ke Indonesia, perjalanan hidup membawa kami ke tempat yang berbeda-beda.
Ada yang bekerja di pemerintahan eksekutif, hingga ke jabatan setingkat menteri dan sekretaris menteri. Ada yang pernah menjadi penulis pidato presiden Habibie.
Ada yang mengabdikan diri Sebagai dosen. Ada pula yang memiliih tinggal di Amerika Serikat, menikah dengan warga sana, menjadi pimpinan perusahan swasta.
Malam itu kami menjadi muda kembali: saling bercerita, membagi kisah perjalanan hidup, menyanyi, berjoget-joget bersama.
Di sela-sela percakapan, menyelip pula tukar info dan diskusi antar pribadi soal pilpres 2024. Terlihat polanya, siapa cenderung mendukung capres yang mana.
Selesai acara, di mobil ketika pulang ke rumah, saya ingat-ingat kembali momen-momen pertama ketika saya sekolah di sana.
Saya mengalami cultural shock. Ketika itu, di tahun 90an awal, saya terbiasa dengan gaya pemerintahan presiden Suharto. Pers tak bebas. Sangat jarang yang berani mengkritik presiden Suharto di era itu.
Tahun 1992, ketika saya ke Pittsburgh, suasana politik di sana menuju pada pertarungan capres antara incumbent George Bush melawan Bill Clinton.
George Bush sebelumnya pernah menjadi wakil presiden bagi Ronald Reagan. Di tahun 1981, Ronald Reagan pernah ditembak oleh John Hinkley tapi Ronald Reagan tidak mati.
Halaman kampus di taman terdapat banyak sekali mahasiswa sedang pidato seperti berkampanye. Ada satu area di sana yang mem- pahlawan-kan John Hinkley.
George Bush hanyalah foto kopy Ronald Reagan, ujar yang berpidato. “Reaganomics membuat kesenjangan ekonomi semakin lebar. Kita menderita karena Reagan. Itu sebabnya John Hinkley yang menembak Reagan itu pahlawan kita.”
“Wah, ujar saya dalam hati. Di sini, penembak presiden bisa dielu- elukan. Bebas sekali mereka. Sementara di Indonesia era pak Harto saat itu, kita para aktivis jika mau mengkritik pak Harto saja kadang harus banyak menyensor diri sendiri.”
Saya sempat pula di Pittsburgh, momen- momen pertama, mengalami sejenis trance, kesenangan yang alang kepalang. Yaitu ketika saya masuk ke perpustakaan utamanya, yang terdiri dari sembilan lantai.
Buku yang hanya saya dengar saja di Indonesia, saya temukan di sana. Ada jutaan kopi buku.
Juga tersedia pusat video film dunia. Hampir semua film pemenang Oscar, Cannes dan lain lain dikoleksi dan bisa ditonton.
Di Pittsburgh, saya sangat jarang bergaul. Di luar waktu kuliah, waktu banyak saya habis kan hingga larut malam di perpustakaan dan ruangan untuk menonton film.
Pittsburgh menjadi sejenis gua hira bagi saya. Jika Nabi Muhammad mendapatkan wahyu di gua hira, saya mendapatkan informasi, pengalaman batin dan pembentukan mindset di sana.
Di mobil, pulang dari acara reuni alumni Pittsbugh, melalui japri, seorang teman sesama alumni Pittsburgh mengirim teks.
“Bro, beri tahu saya jauh- jauh hari ya, siapa capres yang bro akan dampingi. Bro kan sudah ikut menangkan capres 4 X berturut- turut, pastinya bro akan membantu capres untuk menang ke-5x, dong.”
Singkat saja saya jawab: “Siaapp.”
Demam percakapan soal pilpres 2014 memang sudah seperti virus yang menyebar, ke segala lapisan masyarakat.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.