Oleh : Moch Eksan
Di berbagai group NU, banyak muncul aspirasi dari bawah, agar partai dan calon presiden mengambil NU tulen sebagai pasangannya. Aspirasi warga NU bentuk respon terhadap pencalonan Erick Thohir yang diendorse oleh Gus Yaqut, Gus Ipul dan lain sebagainya untuk mendampingi Ganjar Pranowo.
Bahkan, aktivis yang tergabung dalam Nusa Bangsa Indonesia (NBI) sowan ke PWNU di Jl. Masjid Al-Akbar Timur No. 9, Gayungan, Kota Surabaya Jawa Timur 60235. Mereka menyampaikan aspirasi warga nahdlyyin mengusulkan capres atau cawapres yang NU asli bukan NU naturalisasi.
Lepas dari benar atau salah alamat penyampaian aspirasi di kantor NU, yang mesti ditangkap semangat warga NU di level bawah untuk memiliki pemimpin nasional dari kader tulen layaknya Gus Dur, Hamzah Haz, Jusuf Kalla dan Kiai Ma'ruf Amien. Mereka para tokoh NU yang berhasil menjadi presiden atau wakil presiden yang berasal dari para aktivis NU sedari bawah sampai posisi top di jam'iyah.
NU tulen itu artinya kader NU yang sejati dan asli. Mereka yang memiliki paham keagamaan ala minhaj Nahdlatul ulama, dan mengikuti amaliah nahdliyyah serta berpedoman pada sikap kemasyarakatan berdasarkan khittah NU 1926.
Sikap kemasyarakatan NU tersebut bercirikan empat hal berikut.
Pertama, sikap tawasuth dan i’tidal. Sikap ini merupakan sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan beragama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharuf (ekstrim).
Kedua, sikap Tasamuh. Sikap ini merupakan sikap toleran terhadap peradaban pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Ketiga, sikap Tawazun. Sikap ini merupakan sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah, khidmat kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
Keempat, sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sikap ini merupakan sikap selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai- nilai kehidupan.
Istilah "NU Tulen" sebenarnya kalimat protes terhadap kecenderungan para elite NU yang menaturalisasi calon pemimpin demi meraih basis massa keagamaan terbesar di dunia ini. Kalimat ini juga kalimat perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni kelompok politisi dan ekonomi oligark.
Selain, istilah "NU Tulen" adalah kalimat doa yang menginginkan kedigdayaan dan kebesaran para tokoh NU yang berhasil menaklukkan rimba rawa politik Indonesia. Dengan basis massa yang kuat, kekayaan intelektual dan spiritual yang kaya, para tokoh NU harus percaya diri bisa menjadi arus utama kekuatan politik nasional dalam partai, negara, dan masyarakat.
Gus Yahya selalu di berbagai kesempatan mengatakan bahwa, jumlah warga NU sekitar 150 juta lebih. Mereka umat Islam yang menyatakan berafiliasi dengan NU. Sayangnya, basis kultural ini belum bisa terkonversi pada basis elektoral yang solid. Mereka sulit dipersatukan oleh agenda setting untuk menang Pilpres atau pun Pilkada.
Jadi, aspirasi dari berbagai group WA maupun seruan dari NBI harus ditempatkan sebagai obsesi besar NU untuk memiliki pemimpin negara dan daerah dari, oleh dan untuk warga NU. Di samping hal itu dibaca sebagai ikhtiar untuk menyatakan visi, misi dan program kepemimpinan NU dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semua harus menyadari bahwa, NU lumbung kader pemimpin sekaligus lumbung suara pemilu. Banyak anak tokoh dan warga NU yang menikmati pendidikan berkualitas di dalam dan luar negara. Mereka sekarang mengalami transformasi vertikal dan horisontal. Mereka kelas menengah baru dari kultur pesantren yang matang secara politik dan ekonomi.
Memasuki abad ke-2 NU, mulai nampak sejumlah putra kiai dan warga NU berhasil memenangkan kontestasi. Di antara mereka ada yang jadi gubernur, bupati atau walikota. Posisi sebagai kepala daerah merupakan cikal bakal kepemimpinan nasional. Tak berlebihan, bila kesimpulan sementara NU telah menjelma menjadi "raksasa" dan menjadi kelompok determinan yang menentukan arah kepemimpinan bangsa di masa depan.
Pemilu 2024 ini merupakan momentum bagi NU. Tak lagi menjadi penonton, tak lagi menjadi pemeran pembantu, namun menjadi pemain utama dalam suksesi kepemimpinan nasional. Sekelompok anak muda yang mengatasnamakan Nusa Bangsa Indonesia (NBI) di bawah kepemimpinan HRM Kholilur R Abdullah Sahlawiy telah mengusulkan 7 nama yang layak memimpin negeri. Antara lain:
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, Menkopolhukam Prof Mahfud MD, Mustasyar PBNU, Prof KH Said Aqiel Siradj, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, Direktur Wahid Institute, Zannuba Ariffah Hafsoh, dan Mantan Anggota DPR RI, H. Ali Masykur Musa.
Namun demikian, sejumlah nama tersebut tampil atau tidaknya dalam Pilpres bergantung pada koalisi partai dan capres yang diusung. Sebab, ketentuan Presidential threshold menjadi hijab bagi kader NU tulen di atas untuk maju dan terpilih menjadi pengganti Presiden Jokowi. Kecuali, ketentuan PT 20 persen dihapuskan karena bertentangan dengan hak konstitusional rakyat dalam memilih pemimpin nasional.
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute.