Iklan VIP

Redaksi
Sabtu, 01 April 2023, 08:01 WIB
Last Updated 2023-04-01T01:01:51Z

Melihat Agama Sebagai Warisan Kultural Ala Denny JA

Foto : Tangkapan layar rangkuman berita diskusi buku era ramadan


JAKARTA, Clickindonesiainfo.id Agama Memberikan Gema Yang Berbeda Melalui Riset Ilmu Sosial

Ada dua cara bagaimana kita memperlakukan agama sebanyak itu di era Google sekarang ini. Pertama, agama diperlakukan sebagai kebenaran mutlak. Kedua, agama diperlakukan sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia.

“Denny JA menawarkan cara yang kedua, untuk terbangunnya kehidupan yang damai dan harmonis,” demikian dikatakan oleh penulis Ahmad Gaus yang menjadi narasumber dalam diskusi dan bedah buku karya terbarunya berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google” di Café Rumi, Jakarta Selatan pada Rabu, (29/3/2023).

Diskusi tersebut dihadiri oleh puluhan orang dari beragam latar belakang, seperti mahasiswa, tokoh agama, sastrawan dan wartawan. Berbeda dari diskusi buku pada umumnya, diskusi tersebut semakin hangat dengan diwarnai oleh pembacaan puisi serta tarian sufi dan diakhiri dengan buka puasa bersama.

Pada kesempatan tersebut, Gaus mengaku, ia menulis buku tentang pemikiran Denny JA tersebut lantaran dirinya melihat hal yang tidak biasa, semacam inovasi, atau dulu lazim disebut pembaruan pemikiran agama. 

Ia juga mencermati karya-karya Denny JA sampai akhirnya menemukan benang merah. Betapa agama memiliki gema yang berbeda jika dikatakan oleh seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan data dan riset kuantitatif.

Pemikiran Denny JA bahwa, agama merupakan warisan kultural milik bersama umat manusia, menurut Gaus, merupakan temuan yang sangat genius. Ini menjadi jalan keluar dari kebuntuan teologi yang selama ini mempersepsi agama sebagai kebenaran mutlak. Pandangan teologis inilah yang telah menyumbang pada kekerasan berdarah sepanjang sejarah.

“Denny JA bukan ulama, bukan sufi, bukan ustadz, bahkan tidak punya latar belakang pendidikan pesantren. Ia tidak bicara soal hukum, halal dan haram dalam Syariah. Ia bicara aspek sosiologis dari keberagamaan. Ia mengangkat fakta-fakta empirik yang terjadi di dunia Muslim.  Dan ini menarik. Terlebih lagi pikiran-pikirannya bernas karena didukung oleh hasil-hasil riset mutakhir,” tandas Gaus.

Ditambahkan bahwa saat ini kita memang membutuhkan pikiran keagamaan yang berpijak pada riset keilmuan karena zaman sudah berubah dan nyaris seluruhnya bertumpu pada sains. Kalau tidak begitu maka agama akan tertinggal di belakang. Dan Denny JA, lanjut Gaus, sudah memulai tradisi itu.

Lebih jauh Gaus menjelaskan, Denny JA berbeda dengan para saintis pada umumnya. Mereka itu kalau sudah bertemu agama justru menjadi konservatif. Segala sesuatu ingin diagamakan. Berlakulah agamanisasi ruang publik. 

Dari soal makanan, pakaian, hiburan, tempat wisata, sampai soal karya seni seperti patung harus sesuai dengan syariah. Tentu saja maksudnya syariah versi mereka sendiri. Bahkan perkembangan sains ingin ditundukkan pada syariah. Muncullah islamisasi ilmu.

Sementara Denny berpikir sebaliknya. Agama pun tunduk pada hukum perubahan. Agama-agama akan bertahan kalau mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan. Begitu juga iman. Ia harus berbasis pada riset, jika hendak bertahan.

Iman secara konvensional memang didasarkan pada keyakinan. Karena itu selama ribuan tahun orang meyakini bahwa tempat agama ialah di dalam hati. Namun sekarang hal itu tidak cukup.

“Bagi Denny JA agama itu ada di dalam hati sekaligus di dalam kepala dan di pusat-pusat penelitian serta laboratorium. Agama butuh penjelasan yang memadai. Kalau tidak, ia akan sangat rapuh. Dan penjelasan itu berasal dari riset-riset keilmuan yang kini dengan mudah dapat ditemui di internet. 

“Keaslian kitab suci, keotentikan kisah para nabi, bahkan klaim kebenaran setiap tradisi keimanan, dapat diuji di hadapan berbagai temuan sejarah, filologi, antropologi, arkeologi, dll,” ujar Gaus yang menyebut Denny JA sebagai seorang Rumian, yaitu pengikut Jalaluddin Rumi karena pikiran-pikirannya banyak dipengaruhi oleh ulama-penyair-sufi Persia dari abad ke-13 tersebut.

Setelah membaca dan menelaah hasil-hasil riset itu, ujar Gaus lebih lanjut, barulah kita tentukan apakah kita akan tetap beriman atau tidak? Pilihan berdasarkan kesadaran penuh sebagai manusia bebas itulah yang membuat keberimanan kita menjadi bermakna. Itulah yang dinamakan iman berbasis riset yang kini menjadi niscaya di era Google.

Mengenai Jalaluddin Rumi, Gaus membenarkan pandangan Denny bahwa tokoh sufi itu kini hidup kembali, dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa di dunia Barat. Acara peringatan 800 tahun Rumi beberapa tahun lalu diadakan di seluruh dunia dengan gegap gempita. Termasuk di Indonesia. 

Sementara hari kematiannya diperingati setiap tahun dengan membaca puisi-puisi karya Rumi dan membawakan tarian Sema (Whirling Dervishes) atau tarian berputar yang merupakan warisan Rumi.

Sekitar 800 tahun lalu, Jalaluddin Rumi menyatakannya. Kedalaman spiritualitas manusia melampaui jubah formal agama. Kesatuan spiritualitas manusia lebih asli dibanding perbedaan identitas sosial. Rumi betutur: “Agamaku adalah Cinta. Setiap hati rumah suciku.” Lalu : “Kucari Tuhan di Masjid, di Gereja, di Pura. Kutemukan Tuhan di hatiku.” 

Bagi Rumi, yang terpenting itu ajaran cinta. Yang lebih penting dari rumah ibadah adalah compassion yang tumbuh di hati. Bukan di Masjid, bukan di Gereja, bukan di Pura, bukan di organisasi, bukan di lembaga. Tapi Tuhan, sumber kesejatian itu bergetar dan bersemayam di hati manusia, apapun agamanya.

Mengutip Denny JA, Gaus menjelaskan bahwa, 800 tahun kemudian, ilmu pengetahuan membenarkan renungan Jalaluddin Rumi. Apapun agama yang dipeluk oleh seseorang, apapun konsep tuhannya, bahkan jika ia tak pula percaya agama, jika ia mengembangkan compassion merasa satu dengan yang lain, Oneness with All, merasa menyatu dengan semesta, ia akan lebih bahagia. 

Apapun agama seseorang, bahkan yang tak beragama sekalipun, jika ia terus menerus membayangkan sesuatu yang maha besar, yang penuh cinta, yang penuh kasih, yang melindungi, maka hidupnya akan lebih teduh. Itulah kesimpulan banyak riset yang dibuat soal happiness, yang cocok dengan refleksi Rumi.

Pada buku tersebut, terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas, yakni.

Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan poin utama. Pertama, pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal  peran agama  di masyarakat. Kedua, para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.

Ketiga, setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM. Kemudian, Islam Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa. Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.

Selain itu, bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada Laligo (kitab suci) dapat juga terjadi pada agama lain. Keenam, pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.

Poin ketujuh, mendekat agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama. Selanjutnya, LGBT isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT. Dan poin terakhir adalah mengenai perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.

Buku tersebut mendapat apresiasi dari sejumlah orang yang hadir mengikuti diskusi. Salah satunya adalah tokoh agama Kristen yang juga merupakan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Maria Apituley. Dia mengapresiasi lahirnya buku tersebut serta pemikiran Denny JA mengenai agama yang bisa menjadi jalan keluar dari pendekatan teologi yang dogmatis.

Ia bahkan menyampaikan masukkan bahwa jika Denny JA mau naik lagi satu level lebih tinggi, makai a harus mengkritik tepat di “jantung” agama dan apa yang membuat agama sedemikian powerful.

Apresiasi lain juga datang dari seorang penganut agama Baha’i yang juga hadir dalam diskusi, Nasrin Astani.

“Denny JA berbicara dengan data dan pemikirannya mengenai agama merupakan sebuah terobosan yang luas biasa,” bebernya. (ari) 

Buku itu dapat dibaca melalui link ini: 

https://m.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=lURqYx