Review Pemikiran Denny JA Soal Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Kita Bersama |
Oleh : Dr. Luthfi Assyaukanie
Sejak ChatGPT diluncurkan oleh OpenAI beberapa bulan lalu, Google tiba-tiba menjadi terasa kuno dan ketinggalan zaman. Padahal, hingga pertengahan 2022 silam, sebelum ChatGPT dirilis, Google selalu dijadikan standar kemajuan, standar zaman yang paling canggih.
Istilah "Era Google" yang digunakan saudara Denny JA dalam beberapa tulisannya menunjukkan keistimewaan mesin pencari itu.
Tapi siapa sangka, era yang dianggap Denny JA sebagai standar kemajuan dan era yang membuat agama terasa kurang relevan sudah tak lagi relevan, atau paling tidak sedang menuju ke arah itu.
Lima atau sepuluh tahun dari sekarang, mungkin kita tak akan lagi mengenal Google. Seperti nasib beberapa produk teknologi lainnya, mesin pencari Google bakal ditinggalkan orang.
Bagaimana dengan agama? Apakah ia akan bernasib sama seperti Nokia, Blackberry, dan Kodak?
Tentu saja, agama masih hidup dan segar-bugar. Ia masih berada di sekeliling kita. Di negara-negara di mana manusia tak memiliki kepastian hidup, diselimuti kegundahan, dan ditekan penguasa otoriter, agama tumbuh subur.
Sebaliknya, di negara-negara di mana kebutuhan dasar manusia terpenuhi, ada kebebasan, dan pemimpinnya memerintah dengan adil dan demokratis, agama cenderung redup.
Itu bukan pendapat saya, tapi hasil penelitian puluhan tahun yang dilakukan Ronald F. Inglehart, seorang sarjana asal Amerika. Sejak 1980an, Inglehart bersama koleganya, Pippa Norris dan Christian Welzel, melakukan penelitian tentang perilaku agama di dunia.
Bersama Norris, dia menerbitkan sejumlah buku penting. Di antaranya, Sacred and Secular (2004). Dan bersama Welzel, dia membuat peta budaya dunia, yang dikenal dengan "Inglehart-Welzel Cultural Map of the World."
Premis dasar Inglehart berpijak pada penjelasan para antropolog, sosiolog, dan psikolog, bahwa salah satu fungsi utama agama adalah tempat bergantung manusia dari ketidakpastian dan sebagai jawaban terhadap berbagai misteri kehidupan.
Semakin tidak pasti manusia hidup, semakin besar kebutuhan mereka akan agama. Semakin tidak mengerti mereka akan kehidupan, semakin tak bisa lepas mereka dari agama.
Inglehart meyakini bahwa politik dan pemerintahan memainkan peran penting bagi perilaku agama manusia. Pemerintah yang bisa menghadirkan kenyamanan, kesejahteraan, dan kebebasan, akan membuat manusia lebih independen dan berlepas dari ketergantungannya pada agama.
Sebaliknya, pemerintahan yang otoriter, represif, dan tak peduli, cenderung membuat manusia lari kepada agama.
Bukti-bukti yang dibawa Inglehart cukup meyakinkan. Dalam Peta Budaya Dunia yang dia buat bersama Welzel, Inglehart memperlihatkan adanya korelasi yang kuat antara kenyamanan hidup dan tingkat ketergantungan manusia pada agama.
Negara-negara yang hidupnya nyaman-sentosa seperti Swedia, Norwegia dan negara-negara Skandinavia lainnya, cenderung "sekular" di mana rakyatnya semakin jauh meninggalkan agama.
Sementara negara-negara yang miskin dan represif, seperti kebanyakan negara muslim dan negara-negara di Afrika, cenderung "religius".
Temuan Inglehart paralel dengan hasil penelitian beberapa lembaga lain tentang tingkat religiositas suatu negara. Dalam survei lembaga-lembaga itu, negara-negara muslim dan Afrika selalu menempati urutan teratas sebagai negara paling religius di dunia.
Penelitian Pew Research Center (2015), misalnya, menempatkan Etiopia sebagai negara paling religius. Di bawahnya, terdapat Senegal, Indonesia, Uganda, dan Pakistan.
Dalam penelitian ilmiah, sikap "sekuler" atau "religius" sebuah masyarakat dinilai berdasarkan indikator-indikator yang terukur, seperti pandangan tentang penting-tidaknya agama, keyakinan akan adanya tuhan, dan seberapa sering mereka melakukan doa atau ibadah dalam seminggu terakhir.
Indikator-indikator ini kemudian dikonversi menjadi angka yang merepresentasikan tingkat religiositas dan sekularitas mereka.
Yang menarik dari penelitian Inglehart adalah kenyataan ini: pemerintahan yang mampu memenuhi kesejahteraan dan kebebasan warganya, cenderung menghasilkan masyarakat yang sekuler.
Sementara pemerintahan yang tak peduli pada urusan warganya dan membuat mereka hidup tak nyaman, cenderung melahirkan masyarakat yang religius.
Dengan kata lain, kesejahteraan dekat dengan "kekafiran" (irreligion), dan bukan sebaliknya, bahwa kemiskinan akan membuat orang tak beragama (kafir).
Bagi sebagian orang, kenyataan di atas tentu menyesakkan. Dalam skala makro, agama ternyata tidak bisa berjalan beriringan dengan kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Agama hanya relevan bagi orang-orang miskin atau mereka yang hidup dalam ketidakpastian. Orang-orang yang hidupnya nyaman dan mengerti bagaimana dunia bekerja, cenderung tak membutuhkan agama. Atau paling tidak, ketergantungannya pada agama berkurang.
Penjelasan Ilmiah.
Temuan Inglehart penting untuk menjawab salah satu dari dua fungsi utama agama yang saya sebutkan di atas, yakni bahwa agama menjadi tumpuan manusia ketika mereka tak memiliki tempat untuk bersandar.
Negara yang mampu memainkan peran tuhan--memenuhi harapan dan permintaan--cenderung membuat warga mengalihkan ketergantungannya pada agama. Sebaliknya, ketika negara absen, ketergantungan pada agama akan meningkat.
Tapi, penelitian Inglehart tidak sepenuhnya menjawab fungsi kedua agama, yakni sebagai penyingkap misteri. Misteri kehidupan tidak bisa dijawab oleh sistem politik yang baik, tapi oleh pengetahuan dan kemajuan sains.
Sejak awal era modern, fungsi agama sebagai penjelas misteri semakin berkurang. Perannya digantikan ilmu pengetahuan. Berbagai misteri yang pada masa silam menjadi domain agama sudah dijawab ilmu pengetahuan. Setiap kali ilmu pengetahuan menjawab misteri itu, fungsi agama mengecil.
Para filsuf punya istilah yang bagus untuk menggambarkan keterdesakan agama, yakni "god of the gaps" atau tuhan ruang kosong. Ketika manusia tak banyak tahu tentang dirinya dan alam raya, dia menghadirkan tuhan sebagai penjelas.
Tapi, ketika ilmu pengetahuan mampu menjelaskannya, tuhan tiba-tiba lindap, menghilang dari ruang misterius itu. Setiap kali ilmu pengetahuan menjawab suatu misteri, saat itu pula tuhan hengkang, mencari ruang-ruang kosong baru.
Dulu, manusia meyakini bahwa penyakit berasal dari tuhan. Lalu, datang ilmu kedokteran memberi penjelasan secara detil tentang sebab-sebab penyakit. Sekarang ini, tak ada orang waras yang percaya bahwa kusta, cacar, atau malaria, sebagai buatan tuhan. Mereka yang masih percaya bahwa semua penyakit itu ciptaan tuhan, pastilah ada masalah kejiwaan dalam dirinya.
Kedokteran modern meyakini bahwa setiap penyakit pasti ada sebabnya. Dan sebab itu bisa diteliti dan dijelaskan secara rasional. Bahwa ada beberapa jenis penyakit yang belum bisa disembuhkan, itu bukan berarti karena perbuatan tuhan, tapi karena teknologi manusia untuk mengatasinya belum ditemukan.
Dulu, manusia meyakini bintang, planet, dan benda-benda langit sebagai ciptaan tuhan. Kitab suci berbagai agama, tanpa sungkan, menegaskannya.
Hingga beberapa puluh tahun silam, masih banyak orang yang percaya dengan keyakinan primitif ini: tuhan berada di balik penciptaan benda-benda langit. Tapi kini, hanya orang tak terdidik atau mereka yang tak mengikuti perkembangan sains yang masih percaya dengan dongeng kuno ini.
Ilmu pengetahuan dan sains bukan hanya mampu menjelaskan asal-usul manusia dan alam raya. Tapi juga mampu menguraikan asal-usul agama dan sejarah tuhan.
Sekitar 500 atau 1000 tahun silam, teolog dan filsuf masih berdebat tentang agama dan tuhan sebagai fenomena yang "nyata" dan "objektif." Tapi, ilmu pengetahuan modern menjelaskannya sebagai bagian dari "dongeng" dan "fiksi" rekaan manusia purba.
Metafisika dan hal-hal gaib memang bukan bagian dari objek sains. Tapi, jejak-jejaknya yang memiliki implikasi langsung bagi kehidupan manusia bisa diteliti dan dijelaskan.
Klaim-klaim agama tentang penciptaan manusia dan alam semesta terbukti keliru dan tak memiliki pijakan ilmiah sama sekali. Biologi modern berjalan di atas fondasi Evolusi dan penolakan terhadap konsep penciptaan yang dianut hampir semua agama.
Produk Budaya.
Sebelum sains modern lahir, informasi manusia tentang berbagai peristiwa yang disebutkan dalam kitab suci diyakini sebagai sesuatu yang valid dan harus diterima kebenarannya.
Tapi, sejak sains modern lahir dan berbagai disiplin ilmu sosial seperti Sejarah, Arkeologi, Antropologi, dan Sosiologi melakukan eksplorasinya, informasi kitab suci tak lagi bisa ditelan begitu saja. Terlalu banyak kekeliruan dan kesalahan historis di dalamnya.
Apa yang diuraikan saudara Denny JA seputar temuan para arkeolog dan antropolog tentang tokoh-tokoh agama seperti Adam, Nuh, Ibrahim, dan Musa adalah bagian dari kerja-kerja kritis ilmu pengetahuan.
Selama ratusan tahun manusia didoktrin untuk percaya pada nama-nama itu sebagai tokoh nyata yang ada dalam sejarah. Tapi, para arkeolog dan ahli sejarah menegaskan bahwa semua nama itu hanyalah tokoh fiktif yang tak pernah ada.
Taurat, yang menjadi sumber semua kisah itu, ternyata hanyalah kumpulan dongeng yang ditulis para rabi Israel ketika mereka diasingkan di Babilonia pada abad ke-6 SM.
Informasi tentang sejarah penulisan Taurat sangatlah penting. Sayangnya, jarang diketahui orang, khususnya umat beragama. "Pengasingan Babilonia" adalah satu fase krusial dalam sejarah Yahudi. Peristiwa itu menginspirasi para rabi untuk membuat cerita tentang eksodus besar bangsa Yahudi.
Dalam Taurat, kisah eksodus itu dikarang sedemikian rupa sebagai peristiwa yang terjadi di Mesir. Sayangnya, hingga kini, tak ada satupun arkeolog dan ahli sejarah yang menemukan jejaknya.
Era "Pengasingan Babilonia" sangat penting bagi sejarah Yahudi dan juga sejarah agama-agama Ibrahimi. Di kota inilah kaum terpelajar Israel berkenalan dengan ratusan literatur Babilonia di mana berbagai kisah biblikal ditemukan.
Perlu dicatat, Babel pada saat itu adalah kota metropolitan yang mewarisi lebih dari 1000 tahun peradaban Mesopotamia. Jangan lupa, berbagai temuan yang berpengaruh bagi kehidupan manusia, seperti roda, sistem irigasi, kalender, dan peralatan perang, ditemukan di peradaban ini.
Mempelajari sejarah Taurat sangat penting, khususnya bagi umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Sebagian besar cerita dalam al-Quran adalah saduran dari apa yang terkandung dalam Taurat. Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Firaun yang disebutkan al-Quran adalah tokoh-tokoh yang sama yang disebutkan Taurat.
Jika Islam lahir di tempat yang jauh dari lokasi di mana Taurat ditulis (di Papua misalnya), kita mungkin harus bertanya mengapa ada kesamaan cerita. Tapi, Islam lahir persis di tengah kawasan antara Mesopotamia dan Mesir. Dan para pendirinya, berinteraksi cukup intensif dengan orang-orang dari dua peradaban itu. Tak perlu uraian rumit untuk menjelaskan mengapa ada kesamaan cerita pada keduanya.
Mengkaji kembali sejarah agama secara ilmiah sangat penting, bukan hanya untuk menjadikannya "warisan kultural manusia" seperti yang dituliskan saudara Ahmad Gaus dalam bukunya tentang pemikiran Denny JA, tapi juga sebagai upaya untuk mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan.
Selama ratusan tahun manusia terkungkung oleh mitos dan dongeng yang diajarkan kitab suci. Seringkali, mitos-mitos itu dijadikan alasan untuk berperang, membunuh, dan membenci.
Peran Intelektual.
Sains dan ilmu pengetahuan mungkin tidak bisa secara instan menghapus memori tentang agama dan tuhan dari benak manusia. Tapi, bukti-bukti empiris menunjukkan, semakin banyak orang bergelut di dunia ilmiah, semakin besar potensinya untuk meninggalkan keyakinan agama.
Sebuah survei yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan bahwa ateisme di kalangan ilmuwan jauh lebih besar dibanding masyarakat awam.
Survei yang dilakukan pada 2009 itu menunjukkan, hanya 33% ilmuwan di Amerika Serikat yang percaya pada tuhan. Sisanya tak percaya. Sementara di kalangan awam, 83% orang masih percaya pada keberadaan tuhan.
Artinya, semakin banyak orang terekspos penjelasan ilmiah, semakin besar kemungkinannya menjadi ateis. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki alternatif penjelasan terhadap misteri kehidupan, akan tetap mengandalkan agama.
Lalu, apakah agama akan segera punah? Apakah dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, agama bakal ditinggalkan orang? Menurut saya, jawaban atas pertanyaan ini kurang-lebih sama dengan fenomena yang dijelaskan Inglehart.
Agama tak segera ditinggalkan manusia karena jumlah negara yang tak nyaman di dunia jauh lebih banyak ketimbang yang nyaman. Begitu juga, jumlah orang yang tidak terekspos kajian-kajian ilmiah jauh lebih banyak dari mereka yang intens mengikuti perkembangannya.
Yang perlu dikhawatirkan bukanlah banyaknya jumlah manusia yang masih beragama, tapi bagaimana mereka memahami dan menjalaninya. Peran intelektual dan kaum terdidik, karenanya, menjadi penting, untuk terus-menerus mengampanyekan agama sebagai warisan kultural dan produk budaya manusia.
Harapannya, setidaknya mereka bisa bersikap sedikit rileks pada keyakinan yang sejatinya hanya buatan manusia.
Luthfi Assyaukanie. Menyelesaikan PhD-nya dari Universitas Melbourne, Australia, dalam bidang sejarah politik Islam. Disertasinya sudah diterbitkan, dengan judul Islam and the Secular State in Indonesia (Singapoe: Iseas, 2009).
Luthfi menerbitkan tulisannya di beberapa jurnal internasional. Di antaranya, Journal of Religion and Society, Journal for the Academic Study of Religion, dan The Copenhagen Journal of Asian Studies. Kini, dia mengajar di program studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta.
Pemikiran Denny JA soal agama yang dibahas oleh Dr. Luthfi Assyaukanie ada dalam karya Ahmad Gaus AF: Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google (CBI, 2023)
Buku itu dapat dibaca dengan klik ini:
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF