Iklan VIP

Redaksi
Selasa, 25 April 2023, 10:51 WIB
Last Updated 2023-04-25T03:52:49Z

Agama Pencerahan

Review Pemikiran Denny JA soal Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama




Oleh : Dr. Reza A.A Wattimena

(Terlepas dari pertimbangan kritis atas buku ini,  ide-ide dalam buku ini harus menjadi “viral”)
 
“Selama bangsa kita agamis, kita tak akan pernah maju. Kita akan terus terbelakang. Kita akan terus miskin dan bodoh. Lihat saja betapa ributnya kita soal tim sepak bola Israel bermain di Indonesia. Buang-buang waktu dan energi. Banyak isu lain yang jauh lebih penting untuk dibicarakan.”

Pernyataan seorang teman itu keras dan terasa menusuk. Namun, ada kebenaran di dalamnya. Bangsa agamis adalah bangsa yang menuhankan agama. Ia dipenjara oleh masa lalu, dan tak mampu maju di dalam menata hidup bersama.

Orang melupakan tuhan, dan akhirnya menuhankan agama. Memang, di dalam sejarah, agama telah menjadi pencipta damai sekaligus perang. Agama telah melahirkan tatanan sekaligus kekacauan. 

Di persimpangan abad 21, hakekat dan peran agama kembali dipersoalkan.
Ahmad Gaus menuliskan tafsirannya atas pemikiran Denny JA (Denny Januar Ali). Karyanya dijadikan buku, dan diberikan judul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama”. 

Banyak gagasan mencerahkan di dalam buku ini, atau saya sebut sebagai ide tentang agama pencerahan. Ada empat yang kiranya, menurut saya, penting untuk disimak.
 
Empat Argumen Utama

Pertama, kehidupan iman dan agama perlu memberikan ruang besar bagi penelitian ilmiah rasional, terutama kuantitatif. Denny JA, sebagaimana dibaca oleh Gaus, melihat agama perlu membaca perubahan jaman yang tertera dalam beragam data statistik, mulai dari tingkat kemiskinan, tingkat korupsi sampai dengan tingkat kepuasan hidup sebuah negara. 

Agama perlu membuka mata pada kenyataan sosial yang kompleks, dan tidak berdiam diri di dalam tidur keterbelakangan dari masa lalu yang kelam. 

Jika ingin selamat dan tetap relevan di masa Google ini, agama harus berkaca dan berubah.

Dua, agama perlu dilihat sebagai harta karun budaya, sekaligus warisan budaya dunia. Gaus melihat, bahwa pandangan inilah yang paling menarik dari pandangan Denny JA tentang agama. 

Agama tidak lagi dapat dilihat sebagai kebenaran mutlak. Namun, sumbangannya bagi perkembangan peradaban manusia juga tidak dapat diabaikan. Kekayaan budaya agama bisa dinikmati semua orang, tanpa menjadi fanatik, apalagi merugikan orang lain.

Tiga, ini kiranya merupakan inti pandangan Denny JA tentang agama, yakni perubahan paradigma dari intoleransi ke moderasi. Orang beragama dengan akal sehat dan nurani yang jernih. Nilai-nilai kebajikan dan spiritualitas mendalam agama diutamakan, lebih daripada nilai-nilai ritual ataupun tradisi yang menindas.

Kitab suci pun tidak dilihat sebagai kebenaran mutlak. Ia dilihat sebagai bagian dari kekayaan budaya dan sastra manusia. Isinya pun ditafsirkan dengan jalan-jalan yang sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan universal. 

Ini kiranya sejalan dengan argumen utama Denny JA yang dikembangkan Gaus, bahwa agama mesti dilihat sebagai warisan budaya dunia yang bisa dinikmati oleh semua manusia, tanpa kecuali.

Empat, agama juga perlu memeluk ide kebebasan dan demokrasi. Ini penting terutama untuk agama Islam. Demokrasi dan kebebasan memang tidak sempurna, namun jauh lebih baik dari sistem politik lainnya yang pernah dicoba. 

Indonesia, sebenarnya, sudah di jalan yang tepat. Kita hanya perlu mempertahankannya dari serangan kaum ekstremis yang hendak merusak.

Tulisan Gaus tentang pandangan Denny JA ini penuh data dan argumen. Ia berpijak pada penalaran rasional dan ilmiah. Ia memberikan informasi yang berguna untuk pembaca. 

Tidak hanya itu, buku ini merangsang pembaca untuk belajar lebih jauh tentang agamanya, maupun tentang beragam agama yang ada.

Selain ilmiah, buku ini juga banyak mengandung nilai-nilai spiritual, terutama dari Islam. Ada satu bab yang membahas soal Rumi secara mendalam. 

Denny JA kiranya melihat arti penting ketenangan batin yang melahirkan rasa welas asih ke semua makhluk. Ia pun melihat, bahwa hal ini sudah terkandung di dalam semua agama, asalkan ia dibaca dengan kejernihan batin.

Di dalam buku ini, Gaus juga menulis dengan relatif baik. Gayanya mengalir, walaupun ada beberapa kalimat yang terlalu rumit, dan lompatan logika antar paragraf. 

Ia juga banyak bercerita tentang sejarah sebagai latar belakang tulisannya. Gaus juga cukup mampu menangkap semangat Denny JA yang berani melawan arus, dan mempertanyakan kebodohan-kebodohan publik di dalam hidup beragama.
 
Empat Catatan Kritis

Namun, saya memiliki empat catatan kritis tentang isi buku ini. 

Pertama, Denny JA tampak latah dengan perkembangan sains dan teknologi. Ia melihat keduanya sebagai kunci menuju kemajuan sebuah bangsa. Akhirnya, ia lupa melihat perkembangan sains dan teknologi modern secara kritis.

Dua ideologi berkembang pesat di dalam sains dan teknologi modern, yakni positivisme dan saintisme. 

Positivisme hanya mengakui kenyataan inderawi sebagai sumber pengetahuan. Hal-hal lainnya tidak dianggap layak sebagai dasar pengetahuan. Ini termasuk agama, teologi, dan filsafat metafsika yang bergerak abstrak melampaui pengalaman inderawi.

Saintisme adalah ideologi kuat di dalam sains dan teknologi modern. Intinya sederhana, bahwa sains adalah satu-satunya kebenaran yang layak untuk dipertahankan. Yang lainnya, termasuk agama, hanya mitos yang memperbodoh dan mempermiskin manusia. 

Denny JA, sebagaimana dibaca oleh Gaus, tidak cukup peka melihat ideologi-ideologi yang berbahaya di dalam sains dan teknologi modern.

Data kuantitatif yang dipujanya merupakan anak kandung dari saintisme dan positivisme ini. Angka dianggap cermin dari kenyataan. 

Secara epistemologis dan metodologis, ini adalah sebuah kesalahan besar dan sangat mendasar. Sesungguhnya, mengutip banyak angka dan statistik tidak memperkuat dasar pengetahuan, melainkan hanya melahirkan kesan seolah-seolah ilmiah, namun kerap kali menyesatkan.

Gaus, ketika membahas pemikiran Denny JA, juga banyak mengutip eksperimen perilaku manusia dari ilmu psikologi dengan tidak kritis. 

Eksperimen itu bersifat partikular, dan tidak bisa dipukul rata, apalagi untuk masyarakat yang berbeda budaya. 

Artinya, dari sebuah eksperimen, kita tidak bisa menarik prinsip yang berlaku untuk semua. Gaus dan Denny JA tampak terpana dan bersikap naif dengan sains modern, sambil kehilangan sikap kritisnya.

Dua, Denny JA, sebagaimana ditulis oleh Gaus, melihat agama sebagai bagian dari warisan kekayaan budaya dunia. Namun, tak semua agama layak mendapatkan pengakuan luhur itu. 

Tak semua agama baik untuk kehidupan. Begitu judul tulisan saya tentang agama kematian beberapa waktu lalu (bisa dilihat di www.rumahfilsafat.com)

Ada agama yang mengajarkan untuk menindas perempuan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ada agama yang beribadah dengan merusak ketenangan bersama. 

Ada agama yang pandangan dunianya terbelakang, sehingga kerap menciptakan konflik di mana pun ia berada. Ada agama yang menggunakan kekerasan dan perang untuk memaksakan ajaran agamanya.

Agama tersebut tidak cocok untuk kehidupan. Ia tidak layak menyandang gelar “warisan kekayaan budaya dunia”. Denny JA dan Gaus tampak bersikap terlalu optimistik dan kompromis dengan agama kematian. 

Tampaknya, mereka tidak berani tegas untuk menyatakan kebenaran serta kenyataan sebagaimana adanya.

Agama kematian tidak boleh hidup di abad 21 ini. Ia tidak boleh ditolerir atas nama kebebasan dan demokrasi. Agama kematian harus dibasmi sampai ke akar. 

Ketegasan semacam ini diperlukan, guna menjaga keberlangsungan kemajuan peradaban manusia.

Tiga, Denny JA melihat arti pentingnya nilai kebebasan dan demokrasi untuk perkembangan agama. Namun, sekali lagi, tak semua agama bisa hidup dengan nilai kebebasan dan demokrasi. 

Lagi pula, kebebasan dan demokrasi tidak bisa ada tanpa adanya negara hukum yang menjalankan kepastian hukum. Agama kematian, dengan beragam turunannya, merasa memiliki hukum sendiri, sehingga merasa tak perlu patuh dengan hukum yang dibangun secara demokratis dan bebas.


Kebebasan dan demokrasi hanya cocok dengan agama-agama yang memiliki nilai filsafat dan spiritualitas yang tinggi. Kiranya, tak semua agama memiliki itu. Denny JA melihat ada sekitar 4300 agama di dunia. Tentu saja, tak semuanya bisa ikut perkembangan peradaban manusia ke arah rasionalitas, kebebasan, dan demokrasi, seperti yang diharapkan oleh Denny JA, dan kita semua.

Empat, saya tak sependapat ketika membaca singkat 3P. Ini adalah jalan agama yang harus ditempuh, menurut Denny JA. 3P tersebut adalah Personal relationship, Positivity, dan Passion. Dua hal yang amat menganggu saya, yakni soal Personal relationship dan Positivity.

Seperti disinggung sebelumnya, Gaus dan Denny JA mengutip penelitian yang dibuat Harvard tentang kebahagiaan manusia. Mereka berdua tampak begitu terpesona dengan nama besar Harvard, sampai kehilangan sikap kritis yang diperlukan. 

Penelitian itu sampai pada kesimpulan, bahwa hubungan hangat antar manusia (personal relationship) merupakan kunci kebahagiaan. Itu lebih penting daripada uang maupun kekuasaan.

Pandangan elitis semacam ini mengaburkan fakta kemiskinan dan kebodohan yang membuat manusia menderita. Seolah dengan hubungan keluarga dan pertemanan yang hangat, orang tidak perlu lagi berjuang untuk keadilan sosial. 

Gaus dan Denny JA juga melihat pentingnya agama untuk menaruh perhatian pada harmoni antar manusia. Di permukaan, ini terkesan indah, namun menutupi fakta, bahwa kerap kali konflik diperlukan untuk mewujudkan dunia yang adil.

Harmoni tidak boleh menjadi ideologi tertutup yang dianggap mutlak. Kehangatan hubungan antarpribadi tidak boleh menjadi pembenaran terhadap ketidakadilan serta penindasan yang ada. 

Kebahagiaan pribadi tidak boleh menjadi tujuan utama hidup, seperti pandangan sempit yang disebarkan oleh para elite kapitalis global. 

Agama bukan hanya soal kebahagiaan dan kehangatan hidup semata, tetapi juga perjuangan (yang kerap kali penuh konflik) untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua.

Gaus dan Denny JA juga berbicara soal sikap positif. Bagi mereka, segala hal harus dilihat dari kaca mata positif. Ini penting, supaya kepribadian yang optimis bisa tercipta. 

Gaus mengutip beberapa penelitian yang menjelaskan, bahwa sikap optimis akan membuat manusia lebih sehat, dan panjang umur.

Gaus dan Denny JA tampak terjebak pada ideologi berpikir positif. Sejatinya, dunia ini tidak positif. Ia juga tidak negatif. Itu semua hanya penilaian yang dibuat manusia, seturut dengan cara berpikir yang dibentuk oleh masyarakatnya.

Memaksakan diri berpikir positif berarti mengingkari kehidupan dan kenyataan. Gaus dan Denny JA jatuh pada sikap naif semacam ini. 

Berpikir positif justru akan membuat manusia jatuh pada depresi berkepanjangan. Ini persis terjadi, karena berpikir positif bukanlah sikap alami, melainkan sikap ideologis palsu yang dipaksakan oleh para penguasa untuk tetap berkuasa dengan berpijak pada kebodohan serta sikap naif masyarakat luas.

Menjadi manusia optimis tentu diperbolehkan. Menjadi manusia positif juga tidak dilarang. Namun, jangan sampai sikap optimis dan positif membuat manusia menjadi tumpul dan tunduk di hadapan keadaan sosial yang penuh dengan ketidakadilan. 

Jangan sampai agama, sains dan teknologi menjadi pembenaran untuk kemiskinan, kebodohan, serta penindasan.

Lepas dari pertimbangan kritis yang saya ajukan, buku ini tetap perlu untuk menjadi bagian dari diskusi publik di Indonesia. 

Pendek kata, ide-ide di dalam buku ini harus menjadi “viral”. Tentu saja, banyak pandangan mendukung ataupun menolak di dalam diskusi bersama di ruang publik. 

Namun, itu semua diperlukan untuk mewujudkan agama pencerahan yang tidak hanya memberikan kedamaian hati, tetapi juga mewujudkan keadilan sosial untuk semua, tanpa kecuali.

Cita-cita agama pencerahan adalah cita-cita kita semua. Tak semua agama bisa bergerak ke arah itu. Di Indonesia, kita harus bersikap kritis dan pandai memilih agama. 

Jangan sampai kita terpesona oleh agama kematian dari tanah asing yang menumpulkan akal sehat serta nurani kita. []

Reza Alexander Antonius Wattimena. Pendiri Rumah Filsafat (www.rumahfilsafat.com). 

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. 

Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), 

Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), 

Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2022) dan berbagai karya lainnya.

Pemikiran Denny JA soal agama yang dibahas oleh Dr. Reza A.A. Wattimena  ada dalam karya  Ahmad Gaus AF: Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google (CBI, 2023)

Buku itu dapat dibaca dengan klik ini:

https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF