Oleh : Prof. Dr. Musdah Mulia
Tanggapan atas Pemikiran Denny JA dalam buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
Pemikiran-pemikiran Denny JA dalam buku berjudul Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama (Sembilan Pemikiran Agama Denny JA di Era Google) karya Ahmad Gaus AF ini memotret sisi lain dari wajah agama.
Jika selama ini agama dibahas dari sudut pandang yang sangat teologis, bahkan hanya dari perspektif fikih, maka Denny JA mengajak kita melihat agama dari perspektif yang tidak biasa, yakni sudut pandang kemanusiaan.
Menurutnya, agama sepenuhnya dihadirkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia (karamatul insan). Dengan ungkapan lain, agama sepenuhnya hadir untuk memanusiakan manusia, membimbing manusia menjalani kehidupan di dunia dengan penuh damai, sejahtera, dan bahagia sehingga meraih kebahagiaan dan keselamatan abadi di akhirat kelak.
Karya-karya Denny JA yang memukau pembacanya, bukan hanya ditujukan kepada umat Islam, meski dia seorang muslim. Secara substansial pesan-pesan moral di dalamnya ditujukan kepada semua manusia, tak peduli agamanya, bahkan juga untuk mereka yang mengaku tidak beragama: ateis dan agnostik.
Sebab, pesan-pesan moral yang terkandung di balik tulisan-tulisan Denny JA bukanlah monopoli satu agama. Akan tetapi, sebagaimana diakuinya sendiri, agama-agama sesungguhnya merupakan warisan kekayaan kultural milik bersama umat manusia.
Ini merupakan pandangan reformis tentang agama. Terus terang, saya merasa iri pada Denny JA yang mampu menulis tentang agama tanpa melibatkan diri pada pergulatan pandangan teologis dan ahli fikih.
Di situlah kehebatan seorang Denny yang tidak dimiliki penulis lain. Dengan kemampuannya itu, dia terbebas dari kecaman kaum tradisional yang terbelenggu oleh kaidah-kaidah fiqhiyah.
Dia juga terhindar dari makian para teolog yang sangat kaku berpegang pada mazhab teologisnya.
Bagaimana memahami Islam?
Untuk memahami ajaran sebuah agama seperti Islam seharusnya kita tidak terpaku hanya pada teks-teks suci yang normatif. Diperlukan kemampuan menggali pesan-pesan moral yang terkandung di balik teks-teks tersebut.
Itulah yang dimaksudkan dengan aspek kontekstual berupa realitas historis, politis, dan sosiologis yang berkembang dalam masyarakat ketika teks-teks suci diwahyukan.
Realitas masyarakat tidak stagnan, melainkan berkembang dan penuh dinamika akibat banyak faktor. Amat penting memahami realitas tersebut ketika membaca teks-teks suci agama.
Realitas itulah yang diungkapkan secara jelas melalui hasil-hasil riset oleh lembaga-lembaga riset yang dikenal kredibilitasnya. Itulah menurut saya makna perintah iqra di permulaan al-Qur’an.
Tidak sedikit umat nonmuslim yang terkesima ketika menyadari bahwa ayat al-Qur’an yang pertama turun adalah perintah iqra. Sangat disayangkan kata iqra mengalami reduksi makna.
Umumnya, hanya memaknai dengan membaca. Iqra bukan sekadar membaca, melainkan mencakup makna yang luas yakni mengembangkan literasi kemanusiaan, termasuk di dalamnya melakukan upaya-upaya riset demi pengembangan sains dan teknologi serta kemakmuran lingkungan.
Usaha-usaha pengembangan literasi tak mungkin dijalankan tanpa basis yang kuat pada kemampuan berpikir kritis dan rasional, kemampuan bertindak demokratis, dan kemampuan memahami agama secara humanis.
Karya tulis Denny JA menyinggung berbagai isu keagamaan kontemporer yang sangat luas. Namun begitu, tidak sulit menemukan benang merah yang mengikat satu isu dan lainnya, yakni isu kemanusiaan.
Dimulai dengan bab tentang iman berbasis riset. Bagian ini menelaah sejumlah hasil riset yang akan menentukan apakah kita akan tetap beriman atau tidak?
Keimanan yang dibangun berdasarkan kesadaran penuh sebagai manusia bebas itulah yang membuat keberimanan kita menjadi bermakna. Itulah yang dinamakan iman berbasis riset.
Agama hanya akan menjadi fungsional dalam kehidupan, jika keberagamaan manusia didasarkan pada pilihan kritis dan rasional. Sebab, jika manusia beragama karena takut neraka, terpaksa atau ikut-ikutan sebagai sebuah life style, maka keberagamaannya itu tak akan membawa manfaat, baik bagi dirinya apalagi bagi orang lain.
Saya sangat meyakini bahwa kemanusiaan adalah unsur yang amat esensial dalam beragama. Agama dihadirkan sepenuhnya untuk kemanusiaan.
Al-Qur’an memandang manusia dengan sangat positif, konstruktif, dan sentral. Sejumlah ayat menjelaskan bahwa visi penciptaan manusia adalah menjadi khalifah fil ardh (pemimpin atau pengelola kehidupan di bumi).
Visi tersebut dapat diwujudkan melalui misi utama manusia yaitu amar ma’rûf nahi munkar yang saya maknai sebagai upaya-upaya transformasi dan humanisasi. Tugas mulia ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis gender, melainkan perlu kolaborasi di antara semua manusia dengan jenis gendernya yang begitu beragam.
Tujuannya tiada lain, bekerja sama dan berkolaborasi melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar demi wujudnya tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam ridha Allah swt. (al-Taubah, 9:71).
Seluruh kewajiban agama ditunaikan dalam rangka menjalankan amanah sebagai khalifah dengan melakukan berbagai upaya transformasi dan humanisasi demi mewujudkan masyarakat yang adil dan berkeadaban. Dalam konteks inilah manusia tidak dinilai berdasarkan jenis kelamin, gender, suku, agama, dan ikatan primordial lainnya, melainkan semata berdasarkan kualitas takwanya.
Takwa adalah kesungguhan manusia dalam mengemban amanat khalifah demi menjalankan misi utama kemanusiaan.
Pentingnya menghadirkan tafsir humanis dan inklusif
Saya amat mengapresiasi pandangan Denny JA terkait upayanya mengikis sikap mayoritas umat beragama yang meyakini adanya kebenaran mutlak dalam agama. Sebab, fakta-fakta historis tentang tafsir atau paham agama sebagai kebenaran mutlak telah memberi sumbangan signifikan bagi perpecahan umat manusia.
Tentu saja karena paham seperti itu secara alamiah menimbulkan rasa permusuhan dan bahkan kebencian kepada agama-agama yang berbeda.
Permusuhan dan kebencian bisa ditransformasikan ke dalam tindakan kekerasan, diskriminasi, persekusi, dan aksi-aksi sejenis yang merusak tatanan masyarakat beradab.
Pemutlakan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Sebab yang mutlak hanyalah Tuhan Yang Maha Mutlak.
Pemahaman manusia, termasuk pahamnya tentang Tuhan dan agama adalah nisbi belaka. Pemahaman merupakan hasil penafsiran.
Dalam konteks Islam, tidak ada tafsir tunggal setelah Nabi Muhammad saw wafat. Fakta realitasnya adalah terdapat beragam penafsiran, dan setiap kelompok tafsir mendaku diri sebagai pemegang otoritas tafsir sehingga terjadi saling berebut tafsir.
Sebuah penafsiran yang dihasilkan suatu kelompok seringkali mengandung unsur-unsur diskriminatif, eksploitatif, dan kekerasan, baik itu dibuat secara sengaja maupun tidak.
Di sinilah pentingnya umat beragama selalu mengembangkan nalar kritis, rasional, dan mengedepankan prinsip keadilan serta pemenuhan hak asasi manusia.
Ke depan, diharapkan semua umat beragama memiliki konsen untuk mendakwahkan tafsir atau pandangan keagamaan yang humanis dan inklusif.
Hal itu, perlu dilakukan, terutama oleh para pemuka agama demi menghindari berbagai konflik yang berisiko memecah umat dan bangsa. Di antara tafsir inklusif adalah terkait paham keadilan dan kesetaraan gender yang dikembangkan oleh para feminis Islam.
Umumnya, tafsir inklusif tersebut berdasarkan konsep tauhid secara benar sehingga mengantarkan kepada prinsip kesetaraan, keadilan, dan kemerdekaan manusia.
Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Tuhan, pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat.
Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin dan seterusnya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Tuhan merupakan pengingkaran terhadap prinsip tauhid.
Dengan demikian, tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kepada keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang egalitarian, adil dan berkeadaban.
Penafsiran keagamaan yang sering digugat para pemikir pembaru Islam, bukan saja diskriminatif terhadap perempuan, melainkan juga mengabaikan perasaan dan pengalaman perempuan, padahal pengalaman perempuan penting menjadi pertimbangan dalam penyusunan suatu tafsir.
Para perempuan merasa direndahkan karena pengalaman dan pengetahuan mereka diabaikan dalam refleksi teologis. Bentuk lain peminggiran pengalaman perempuan dalam penafsiran teologi, dilakukan dengan cara melarang perempuan aktif mempelajari dan mengajarkan tradisi teologis.
Sikap kritis terhadap tradisi dalam konteks pengalaman perempuan sangat penting, bukan sekadar menambahkan suatu sudut pandang baru kepada bangunan yang ada.
Pengalaman perempuan sangat diperlukan dalam merekonstruksi penafsiran bias gender atas nama agama.
Denny JA berulang kali menekankan pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kelompok mana pun, termasuk kaum perempuan, disabilitas, lansia dan kelompok minoritas suku dan agama, serta minoritas gender yang tertindas, seperti kelompok LGBT.
Menghadirkan agama yang membahagiakan
Sisi lain dari keunikan tulisan Denny JA adalah ketertarikannya pada the science of happiness dan neuro science yang menggiringnya kepada pengembangan spirituality of happiness atau agama yang membahagiakan.
Denny JA menjelaskan dengan mengutip sebuah penelitian yang dibuat oleh Harvard University, setidaknya ada satu faktor penting yang membuat seseorang bahagia, yakni relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens, dan bermakna.
Kebahagiaan seseorang tergantung pada adanya relasi yang demikian dalam hubungan dengan pasangan, anggota keluarga, kolega, dan komunitas yang lebih luas.
Penelitian itu juga mengungkapkan, berbagai perilaku yang dapat membuat seseorang bahagia, di antaranya: selalu berbuat baik, banyak bersyukur, mudah memaafkan, ringan tangan memberi pertolongan, dan tidak dendam. Kelihatannya sangat mudah, tapi dalam praktiknya sangat sulit.
Perilaku baik tersebut harus dibiasakan agar menjadi tradisi dalam kehidupan.
Namun, perlu dicatat bahwa dalam membangun relasi, yang penting adalah kualitasnya, bukan kuantitasnya.
Kita tidak perlu memiliki banyak relasi namun kualitas relasi tersebut tidak mendukung munculnya ketenangan dan kedamaian dalam hidup.
Relasi dengan pasangan amat menentukan kebahagiaan seseorang karena pasangan adalah orang yang paling dekat dalam pergaulan sehari-hari.
Dibutuhkan komitmen kuat, pengertian, kesabaran, cinta-kasih, dan tanggung jawab bersama untuk menjalin relasi yang hangat, akrab, intens dan bermakna dengan pasangan.
Memang tidak mudah, tapi tidak sedikit di antara kita berhasil membangun relasi demikian, bahkan mempertahankannya sampai ajal menjemput.
Sejak tahun 2012, Badan Internasional PBB mengembangkan sebuah cara mengukur tingkat kebahagiaan manusia melalui WHI (World Happiness Index). Indeks ini bukan hanya mengukur kemajuan ekonomi, melainkan juga mengukur hal lain di luar ekonomi, seperti social support, level of trust, freedom of choice, good governance, dan human rights.
Pengukuran ini lalu dikenal dengan indeks kebahagiaan manusia. Menarik disimak bahwa dari tahun 2012 s/d 2016, negara Denmark menempati urutan pertama sebagai negara yang penduduknya paling bahagia.
Selain Denmark, tiga negara lain yang juga penduduknya paling bahagia, yaitu Switzerland, Iceland dan Norwegia.
Mengapa Denmark? Penelitian tersebut menemukan paling tidak ada delapan alasan. Pertama, masyarakat Denmark memiliki kualitas kehidupan sosial yang hangat. Kedua, memiliki tingkat trust (rasa percaya) yang sangat tinggi. Ketiga, sangat memperhatikan kehidupan keluarga. Buktinya, jika seorang isteri melahirkan, bukan hanya isteri mendapatkan cuti, melainkan suami pun mengambil cuti selama 4 bulan.
Bahkan kini, masyarakatnya memperjuangkan cuti selama setahun dengan alasan agar kedua orang tua memiliki waktu yang cukup untuk mengasuh dan mendidik anak secara optimal dan berkualitas.
Keempat, masyarakatnya gemar memberikan donasi, saling memberi dan saling menolong. Sikap solidaritas merupakan keunggulan dan kebanggaan.
Kelima, menikmati kebebasan penuh, mereka bebas memilih life style yang berbeda sejauh tak ada pemaksaan dan tidak melakukan kekerasan.
Keenam, menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, menghormati keberagaman agama, etnis, orientasi seksual dan seterusnya. Ketujuh, kaum buruh bukan hanya mendapatkan gaji yang memadai, tetapi juga hubungan kerja yang sehat.
Umumnya warga Denmark memilih hidup yang seimbang antara dunia kerja dan waktu untuk keluarga. Mereka umumnya tidak gila kerja sampai melupakan keluarga.
Kedelapan, masyarakat menikmati hak-hak dasarnya sebagai warga-negara, demikian juga hak asasi mereka sebagai manusia merdeka.
Pertanyaan menarik, apakah ada hubungan antara agama dan kebahagiaan? Apakah seseorang yang lebih religius juga lebih bahagia? Sejumlah riset menyimpulkan, mereka yang berafiliasi dengan suatu agama potensial menjadi lebih bahagia dibandingkan mereka yang tidak terafiliasi.
Itulah sebabnya mengapa entitas agama tetap bertahan dan diminati. Lalu, bagian mana dari agama yang mampu membuat penganutnya lebih bahagia?
Penelitian itu menyimpulkan bahwa, social network yang penuh kehangatan dan memberi makna bagi setiap anggotanya akan mendatangkan rasa bahagia.
Pertanyaan kritis muncul, kalau agama memberi dampak positif bagi kebahagiaan penganutnya, lalu mengapa negara-negara yang penduduknya sangat ketat beragama, seperti Syria dan Afganistan tidak masuk dalam rangking indeks negara bahagia, bahkan sebaliknya?
Jawabannya simpel! Agama hanya mendatangkan bahagia bagi pemeluknya manakala nilai-nilai agama universal, seperti keadilan, kesetaraan, kejujuran, kasih-sayang dan solidaritas mendominasi relasi sosial di antara para pemeluk agama.
Jika dalam sebuah lingkungan sosial keagamaan yang dikembangkan adalah nilai-nilai intoleransi, kekerasan, pemaksaan, dogma, tidak ada kebebasan memilih, dan penuh dengan konflik dan teror, maka dapat dipastikan bahwa pemeluk agama di lingkungan yang toksik itu tidak bahagia.
Bahkan, boleh jadi bukan cuma tidak bahagia, melainkan juga mengidap penyakit kejiwaan (mental health disorder) yang parah untuk waktu yang lama.
Berdasarkan penelitian itu saya setuju dengan Denny JA yang mengajak kita memperbarui komitmen untuk membuat lingkungan sosial kita penuh dihiasi dengan nilai-nilai kemanusiaan universal: kasih sayang, kejujuran, keadilan, kesetaraan dan kedamaian.
Mari selalu berusaha merajut relasi kemanusiaan yang hangat, akrab, intens dan bermakna, dimulai dari dalam keluarga. Selanjutnya diperluas kepada lingkungan kolega dekat, untuk selanjutnya dikembangkan dalam komunitas yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sinilah agama menjadi fungsional sebagai suluh penerang (hudan) bagi umat manusia.
Sebagai penutup, saya ingin menyimpulkan, jika pandangan keagamaan Denny JA diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari akan terbangun sikap keagamaan yang amat manusiawi.
Sikap itulah yang mendorong manusia untuk saling mengapresiasi dan berkolaborasi penuh kasih-sayang dan kedamaian.
Kondisi sosial-keagamaan yang demikian merupakan syarat utama bagi tumbuhnya peradaban yang maju. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A. Dikenal luas sebagai perempuan ulama, intelektual dan aktivis kemanusiaan yang bersikap sangat kritis terhadap berbagai pandangan mayoritas yang tidak rasional dan tidak humanis, khususnya dalam isu agama. Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Women Shura Council di New York.
Salah satu pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace (organisasi lintas iman). Pendiri Yayasan Mulia Raya yang aktif melakukan pendidikan damai, khususnya bagi kalangan milenial dan Gen-Z.
Karya-karyanya vokal menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan berupa keadilan, demokrasi, pluralisme dan kesetaraan gender, antara lain Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi, Penerbit Baca (2020). Dapat dihubungi via m-mulia@indo.net.id atau muslimahreformis.co
Pemikiran Denny JA soal agama yang dibahas oleh Prof. Dr. Musdah Mulia ada dalam karya Ahmad Gaus AF: Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.
Buku itu dapat dibaca dengan klik ini:
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF