Oleh : Dr. F. Budi Hardiman
Review Pemikiran Denny JA Soal Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
Dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial sudah lama diyakini bahwa agama akan punah oleh proses sekularisasi. Sudah lama para kritikus agama, seperti Auguste Comte, Ludwig Feuerbach, Karl Marx, dan Sigmund Freud meramalkan suatu zaman tanpa agama. Mereka dan para pengikut mereka menduga bahwa agama telah menjadi sumber masalah.
Ada kebenaran dalam dugaan itu. Bukankah intoleransi, politik identitas, dan terorisme yang merebak di beberapa tempat dipicu oleh doktrin-doktrin radikal agama? Makin puritan dan makin ortodoks seseorang mengimani doktrin agama, tampaknya orang itu juga makin intoleran dan makin mengancam keamanan pemeluk agama lain.
Infantilitas, delusi, opium, dan bahkan neurosis adalah istilah-istilah yang diberikan oleh para kritikus itu kepada agama. Demi kewarasan dan kebebasan masyarakat, mereka mendesak untuk menyingkirkan agama atau sekurangnya membiarkannya pudar oleh perkembangan zaman.
Ramalan akan datangnya suatu zaman tanpa agama merupakan keyakinan inti dalam tesis sekularisasi. Memang di beberapa masyarakat, khususnya di benua Eropa, kekristenan tidak lagi memainkan peran publik seperti di Abad Pertengahan dan awal modernitas.
Perkembangan sains, teknologi, dan industri sejak zaman Pencerahan abad ke-18 telah menghentikan agama sebagai pemegang monopoli tafsir atas kenyataan.
Namun itu terjadi di Eropa. Di tempat-tempat lain, seperti di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, agama masih hidup. Bahkan di beberapa negara di Amerika Latin, di Tiongkok, dan di Amerika Serikat terjadi revivalisme agama yang sangat bergairah.
Di Indonesia agama bahkan dipakai sebagai alat efektif untuk politik identitas. Horor politik agama masih menghantui demokrasi kita.
Agama jauh dari kepunahan. Harus diakui bahwa tesis sekularisasi telah gagal. Pemikiran rekan Denny JA, sejauh dilaporkan dan dikomentari oleh Ahmad Gaus AF dalam bukunya Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama, sepakat dengan para kritikus agama yang menganggap agama telah menjadi sumber masalah dalam masyarakat modern.
Namun ia menolak tesis sekularisasi. Agama masih ada. Kita masih mendengar adzan, melihat orang beribadah di gereja atau kuil, dan hari-hari raya keagamaan masih selalu meriah. Perputaran uang yang digerakkan oleh motif-motif religius juga masih sangat tinggi.
Denny tidak berpendirian bahwa, agama akan punah. Namun ia juga menolak berargumen pro konservatisme agama.
Denny memilih berargumen untuk transformasi agama agar sesuai dengan perubahan zaman. Bentuk baru yang diyakininya telah dan akan terjadi pada agama adalah menjadi warisan kultural milik bersama umat manusia.
Sangat jarang pemikiran tentang agama yang progresif dan kritis dibahas dalam masyarakat kita. Karena itu saya menyambut baik kesempatan untuk menanggapi dan mendiskusikan pemikiran Denny lebih jauh.
Topik-topik progresif dan kritis tentang agama, masyarakat, dan peradaban bukan hal-hal baru bagi Denny JA. Seingat saya, hal itu merupakan perhatiannya sejak ia masih mahasiswa.
Denny mewarisi pengaruh pemikiran tokoh-tokoh Islam moderat dan pluralis di Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Djohan Effendi.
Waktu masih mahasiswa dahulu, ia sudah menggerakkan kelompok-kelompok diskusi yang membahas secara kritis isu-isu politis dan religius.
Kiprahnya dalam dunia riset menyegarkan warisan para gurunya itu di era komunikasi digital. Bagi saya mendiskusikan pendiriannya sungguh merupakan kenikmatan tersendiri yang terasa nostalgis.
Mengapa Agama Bertahan?
Denny tidak berargumen tanpa data. Sebagaimana dilaporkan oleh Gaus, argumennya didasarkan pada riset kuantitatif.
Kita tidak diberi informasi detail tentang proses dan hasil riset itu. Gaus melaporkan pendirian Denny secara menarik dengan bahasa yang populer dan mudah dibaca. Tampak dia menjadi juru bicara yang fasih bagi Denny.
Namun dalam laporannya tidak selalu jelas mana komentarnya dan pendirian Denny yang dilaporkannya. Di sini saya mengandaikan saja bahwa hasil riset itu benar dan valid, dan laporan Gaus persis mencerminkan pemikiran Denny.
Dalam buku Gaus dilaporkan fakta menarik yang tampaknya meneguhkan tesis sekularisasi, seperti: meningkatnya jumlah mereka yang tidak mau terikat pada institusi agama, korelasi antara ketidakberagamaan dan rendahnya tingkat korupsi, kaitan agama dan kemiskinan dan keterbelakangan, irrelevansi agama untuk kebahagiaan, hubungan antara agama dan kurangnya tingkat kecerdasan, dan seterusnya.
Dari fakta dan data itu tampak jelas bahwa alih-alih peran positif, agama justru memainkan peran negatif dalam masyarakat. Dalam laporan tidak spesik disebutkan, yang bermain itu agama apa, denominasi mana, atau sekte apa.
Jumlah agama 4.300 buah, jumlah sangat fantastis untuk bisa dirangkum dalam satu kategori “agama”. Di samping itu semua, klaim-klaim agama yang selama ini dianggap benar secara faktual dapat digugurkan dengan mengajukan fakta-fakta ilmiah yang menentang klaim-klaim itu.
Sains modern yang telah berperan dalam proses sekularisasi dunia tampaknya akan menunjukkan kesalahan klaim-klaim itu.
Denny mendukung sains modern. Pendiriannya sejalan dengan temuan-temuan dalam kritik sejarah (historical criticism) terhadap kitab suci yang sudah mulai dikembangkan di Barat sejak abad ke-18.
Temuan-temuan itu memastikan bahwa, Adam, Nuh, dan Musa bukanlah tokoh-tokoh historis. Temuan seperti itu jelas-jelas mengguncang literalisme skriptural para konservatif agama.
Kini makin luas diterima di kalangan akademis bahwa narasi-narasi kitab suci bukanlah sebuah laporan jurnalistik atas fakta historis.
Apakah agama akan gugur oleh sains dan proses sekularisasi? Denny berpendapat bahwa, agama akan tetap bertahan. Jawaban ini tentu bertolak belakang dari tesis sekularisasi yang telah disinggung di atas.
Denny mengajukan lima argumen yang menarik untuk kita komentari.
Pertama, tiap agama memiliki potensi untuk direinterpretasi. Kedua, keyakinan agama tidak tergantung pada fakta yang sebenarnya. Ketiga, keyakinan agama memberi makna hidup.
Keempat, keyakinan itu ditradisikan lewat narasi reward and punishment. Kelima, pencarian makna tidak pernah berhenti.
Segera kita telaah satu per satu. Argumen pertama lebih berciri persuasif daripada deskriptif. Coba kita bedakan antara perspektif pengamat dan perspektif peserta.
Perspektif pengamat adalah perspektif mereka yang mengobservasi fenomena agama dari luar sebagai objek, seperti Denny. Sedangkan perspektif peserta adalah perspektif mereka yang terlibat di dalam agama-agama dan komunitas-komunitas umat beriman.
Dari perspektif pengamat, kemajemukan tafsir dalam agama memang memungkinkan agama bertahan dalam perubahan zaman.
Namun dari perspektif peserta, kemajemukan tafsir itu menimbulkan kebingungan. Literalisme skriptural merupakan solusi atas kebingungan itu.
Maka itu, literalisme tetap bertahan sekalipun terjadi kemajuan dalam metode eksegesis dan hermeneutik. Jadi, potensi agama untuk direinterpretasi tidak selalu diaktualisasi.
Temuan bahwa tiap agama punya potensi untuk direinterpretasi lebih berciri persuasif daripada deskriptif. Literalisme adalah kecemasan untuk mengaktualisasi potensi itu.
Argumen kedua sangat sentral. Denny memberi kita petunjuk yang jelas bahwa agama lebih menyangkut dunia subjektif dan intersubjektif daripada dunia objektif.
Dari perspektif pengamat, memang perbedaan keyakinan akan peristiwa historis, seperti pengorbanan Ishak versus Ismail atau keyakinan bahwa yang disalib itu Yesus versus yang disalib bukan Yesus, bisa saja direlatifkan.
Namun dari perspektif peserta, perbedaan keyakinan itu polemis dan agonistik.
Tentu saja kita ingin tiap agamawan bisa merelatifkan perbedaan itu dan melihatnya sebagai perbedaan pemaknaan saja.
Namun jangan lupa, dibutuhkan pencapaian tingkat keadaban tertentu untuk mampu memandang agama sebagai persoalan dunia makna dan bukan persoalan dunia fakta.
Sungguhkah kemampuan itu telah populer? Bukankah di zaman kita yang disebutnya ‘era Google’ itu banyak konten apologetis di Youtube, TikTok, Facebook, dan lain-lain yang mengacaukan dunia fakta dan dunia makna?
Banyak orang beragama yang masih saja gagal membedakan agama dan sains. Mereka menanggap kitab suci mereka buku sains yang menyaingi The Origin of Species. Tak jarang juga ada anggapan bahwa internet dan smartphone sudah ada dalam kitab suci mereka.
Denny tidak setuju dengan hal-hal seperti itu. Muatan filosofis dalam argumen keduanya cukup kental. Hal itu berguna untuk edukasi publik, tetapi tentu secara empiris terbuka untuk difalsifikasi.
Argumen ketiga adalah konsekuensi logis argumen kedua. Karena menyangkut dunia makna dan bukan dunia fakta, keyakinan agama bukan sebuah klaim ilmiah, melainkan menyangkut fungsi eksistensial tertentu, yakni memberi makna hidup.
Kita bisa mendukung sepenuhnya argumen ini. Narasi kitab suci, ritual, doa, tradisi iman–semua ini merupakan hasil pergumulan manusia untuk memberi makna hidupnya.
Dalam hal ini, agama, meskipun jauh lebih kompleks daripada mitos, memiliki fungsi antropologis yang kurang lebih sama dengan mitos, yakni: memberi makna eksistensial.
Jika berargumen di arah ini, bahkan kisah-kisah mukjizat dalam agama, tidak perlu dipahami sebagai fakta historis, melainkan sebagai makna eksistensial, sebagaimana interpretasi yang dilakukan oleh Rudolf Bultmann.
Sebagaimana pemaknaan-pemaknaan lain, dari sudut pandang filosofis, agama berfungsi untuk mengatasi absurditas.
Argumen keempat, sistem reward and punishment, sebagaimana terdapat dalam konstruksi teologis tentang surga dan neraka, juga berfungsi untuk mengatasi absurditas.
Tanpa konstruksi itu kehidupan tampak arbitrer, tak terarah, atau bahkan chaotic. Tidak dikatakan secara tersurat, tetapi cukup jelas dari pandangan Denny, bahwa pemaknaan hidup merupakan fungsi istimewa agama yang sulit ditandingi oleh sains.
Di hadapan manusia fakta ‘mentah’ yang tidak dimaknai tidaklah relevan untuk hidupnya. Oleh sebab itu teori Big Bang dan teori evolusi tidak menetap di teritorium sains; teori-teori ilmiah itu menantang literatisme skriptural karena bersentuhan dengan fungsi istimewa agama dalam memaknai hidup yang disangka telah direbut sains.
Akhirnya, argumen kelima berkorelasi erat dengan argumen ketiga. Pendirian ini mengingatkan kita akan hermeneutik, fenomenologi eksistensial, dan dekonstruktivisme.
Kebutuhan manusia akan makna bisa melampaui kebutuhan akan fakta. Narasi-narasi tidak bisa diukur di bawah satu ukuran yang sama. Begitu juga makna. Maka itu, pencarian makna tidak pernah final, sebagaimana pencarian makna eksistensial lewat agama.
Kelima argumen di atas dapat kira rangkum dengan satu kata: pemaknaan. Agama memiliki kekuatan epistemis yang istemewa untuk memberi makna.
Makna bukanlah sesuatu yang objektif seperti fakta ilmiah. Memang fakta ilmiah juga suatu makna, tetapi makna di sini hanyalah cermin objek pengetahuan kita, maka memiliki ruang interpretasi yang ketat.
Berbeda dari itu, makna yang diberikan oleh agama lewat narasi-narasi dan ajaran-ajarannya sangat terbuka terhadap interpretasi. Karena itu, terdapat kemajemukan interpretasi makna dalam agama yang menghasilkan mazhab, denominasi, sekte, dan seterusnya.
Saya tergoda untuk mengatakan bahwa, lima argumen itu merupakan strategi epistemis Denny untuk membuat kita merasa nyaman dengan kemajemukan tafsir yang memang tidak terelakkan dalam agama.
Sebuah Manuver Intelektual
Agama memiliki keistimewaan epistemis untuk pemaknaan. Karena makna terbuka untuk ditafsirkan, perbedaan makna memperkaya kehidupan.
Keragaman makna itu mirip keragaman kuliner. Karena memiliki banyak suku dan agama, masyarakat kita dapat menikmati kekayaan kuliner.
Hampir tiap kota punya soto khas. Juga sate khas tidak sedikit macamnya. Lidah kita tidak hanya mampu mencecap aneka rasa, sehingga kita secara potensial dapat memukimi banyak kebudayaan.
Karena agama kaya akan makna, semestinya perbedaan agama juga memberi sumbangan untuk memperkaya kehidupan kita, sehingga masyarakat kita tidak saling mencakar karena perbedaan agama.
Dalam konteks inilah neologisme Denny “warisan kultural umat manusia” atau “warisan kultural milik bersama” menjadi penting untuk diperhatikan.
Apakah maksud neologisme itu? Istilah itu mengandung muatan normatif, meskipun dipakai untuk mengomentari suatu tren faktual. Meskipun ada data yang menyertainya tentang sikap-sikap moderat dalam populasi responden tertentu, istilah itu belum disepakati sebagai fakta, khususnya oleh para penganut agama.
Adalah lebih tepat menyebutnya sebuah manuver intelektual. Hal itu wajar karena penelitian sosial tidak sama dengan penelitian dalam ilmu-ilmu alam. Komentar dan interpretasi dalam riset sosial memang berasal dari perspektif penelitinya, maka juga mengharapkan apa yang disebut Gadamer Wirkungsgeschichte (sejarah pengaruh).
Riset sosial adalah bagian komunikasi sosial.
Frasa “warisan kultural”, jika dikenakan pada agama, tampak mereduksi agama kepada kebudayaan.
Kita jadi teringat akan “situs warisan dunia” yang dijaga UNESCO. Jika sempat baca-baca literatur tentang ateisme, kita bahkan bisa menemukan konsep seperti itu dalam buku Richard Dawkins, The God Delusion.
Menurut ateis kontemporer ini, kitab suci adalah sumber utama kultur sastra, seperti “legenda-legenda dewa-dewa Yunani dan Romawi, dan kita mempelajari mereka tanpa diminta untuk percaya kepada mereka”.
Seperti dilaporkan Gaus, Denny sendiri juga berpendapat bahwa kitab suci dapat diperlakukan sebagai karya sastra.
Sekilas Denny, seperti Dawkins, tampaknya bersikap sekularis terhadap kitab suci. Kesan itu keliru. Denny banyak terinspirasi oleh tradisi spiritualitas, khususnya oleh karya-karya sufi Jalaluddin Rumi.
Ia membuka hati dan pikiran terhadap unsur sakral di dalam kitab suci. Sikap itu tidak akan diambil oleh seorang ateis seperti Dawkins.
Namun Denny pernah studi di Amerika. Di sana ada kurikulum liberal arts. Konsep warisan kultural umat manusia sedikit banyak mengacu pada karya-karya sastra dan filsafat agung yang wajib dibaca oleh para peserta kurikulum liberal arts itu.
Di Amerika dan Eropa kurikulum ini diselenggarakan agar para peserta didik dapat mempelajari nilai-nilai moral universal yang membangun karakter warga negara.
Tentu saja sikap hormat terhadap kitab suci diserahkan kepada pilihan subjektif mereka. Bagi orang percaya, kitab suci itu wahyu ilahi, tetapi bagi yang tidak percaya kitab suci sejajar dengan Illiad, The Republic, Hamlet, Il Principe, dan seterusnya.
Tentu saja istilah warisan kultural itu tidak sama sekali netral. Ada muatan normatif yang bisa dikorek, yakni bahwa agama sebaiknya berperan sebagai kekuatan kultural dan spiritual dan bukan sebagai alat kepentingan politis yang memecah belah.
Kita memang mengharapkan hal itu terjadi. Namun tidak mudah “mendiskon” agama sehingga tampil dengan wajah baru yang kultural. Mengapa? Karena ia bukan sekadar pengetahuan kultural biasa, seperti seni atau sastra. Ia mengandung ‘endapan’ pengalaman iman penulisnya dan keyakinan-keyakinan suatu komunitas di masa silam terhadap yang sakral dan yang transendental.
Agama mengandung ontologi yang membuat konsep realitas tertentu diyakini sebagai real oleh para penganutnya. Kitab suci berisi narasi-narasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar dalam kehidupan, seperti siapakah Tuhan itu, bagaimana dunia ini terjadi, apakah manusia itu, dari mana manusia berasal dan apakah tujuan sejarah.
Semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu lalu diartikulasikan dan dipentaskan dalam bentuk narasi, ritual, doa, moral, estetika, politik, dan bahkan ekonomi, sehingga menjadi sebuah pandangan komprehensif tentang realitas.
Kitab suci itu sendiri bukan sistem tertutup, melainkan sistem terbuka karena terbentuk dari berbagai pengaruh dan konteks. Namun doktrin komprehensif yang dibangun darinya bisa merupakan sistem tertutup.
Dari situ, berbeda dari sastra dan seni, agama tampil sebagai sebuah wawasan dunia menyeluruh (totale Weltanschauung). Orang percaya melihat segala sesuatu di dunia, masyarakat, dan manusia, dari wawasan dunia religius itu.
Dahulu, dalam masyarakat pra-sains, kitab suci berlaku sebagai satu-satunya wawasan dunia. Akan tetapi dengan modernisasi dan demokratisasi, terjadi bukan hanya pluralisasi cara-cara hidup, melainkan juga pluralisasi wawasan-wawasan dunia.
Sulit disangkal bahwa sains dan rasionalisme modern merupakan lokomotif proses pluralisasi itu. Dalam modernitas muncul wawasan-wawasan dunia alternatif terhadap agama, seperti wawasan dunia ilmiah, wawasan dunia sekuler, wawasan dunia etnis, dan seterusnya.
Proses ini bisa kita sebut decentering of worldview. Dalam modernitas tidak ada lagi wawasan dunia religius yang berlaku sebagai pusat segalanya. Lewat metode empirisnya, sains modern tidak hanya menjustifikasi eksistensi dunia faktual yang terdiri atas objek-objek empiris.
Sains juga mendorong munculnya wawasan-wawasan dunia alternatif terhadap agama.
Di dalam decentering of worldview itu, orang modern seperti kita lalu dapat secara epistemis membedakan tiga macam dunia.
Pertama adalah dunia objektif yang terdiri atas fakta-fakta. Sains, jurnalisme, pengadilan, dst. mencari kebenaran faktual, dan kebenaran faktual sains mengacu pada dunia objektif ini.
Temuan-temuan arkeologis kitab suci, seperti bahwa, Adam, Nuh, dan Musa bukan tokoh-tokoh historis, atau seperti bahwa tempat kelahiran Islam bukan di Mekah, melainkan di Petra, merupakan klaim-klaim faktual yang bisa diproblematisasi secara ilmiah menurut prosedur ketat sains.
Klaim-klaim itu tidak perlu menyinggung perasaan umat beragama, juga tidak perlu dianggap pelecehan agama, karena tidak mengacu pada penghayatan subjektif mereka.
Kedua adalah dunia subjektif yang terdiri atas penghayatan pribadi, seperti misalnya iman dan spiritualitas, termasuk spiritual blue diamond Denny.
Ketiga adalah dunia intersubjektif yang terdiri atas tradisi-tradisi, norma-norma, nilai-nilai moral, dan seterusnya.
Dunia subjektif dan intersubjektif adalah dunia makna. Dunia ini terbuka terhadap interpretasi makna. Kebenaran di sini bisa sangat beragam dan kontroversial, tetapi dapat didialogkan sehingga tercapai kebenaran sebagai kesepakatan.
Dari perspektif pengamat, isi kebenaran teologis merupakan pemaknaan. Namun dari perspektif peserta atau penganut agama, isi kebenaran itu adalah realitas atau bahkan realitas akhir yang melampaui fakta.
Berbeda dari pengamat, peserta atau penganut tidak melihat kebenaran agama sebagai pemaknaan, melainkan sebagai pengalaman makna. Untuk menyikapi kemajemukan, distingsi antara pemaknaan dan pengalaman makna sangat penting seperti distingsi antara perspektif pengamat dan perspektif peserta.
Pencemaran simbol religius, seperti salib atau al-Qur’an, memiliki konsekuensi yang sangat serius. Bagi pengamat, yakni outsider, simbol itu ‘hanyalah’ pemaknaan yang tidak relevan baginya, tetapi bagi peserta, yakni insider, simbol itu adalah pengalaman makna yang berjangkar dalam subjektivitas dan komunitas.
Isu penodaan agama muncul akibat kegagalan memakai perspektif ganda itu.Modernitas telah melatih kita untuk beralih-alih perspektif sehingga kita tidak mengabsolutkan keyakinan kita di hadapan keyakinan-keyakinan lain.
Tokoh-tokoh moderat dan pluralis, seperti Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, dan Denny JA cukup terlatih untuk beralih-alih perspektif. Mereka yakin bahwa, teologi mereka real karena merefleksikan pengalaman makna mereka.
Namun keyakinan itu disertai kesadaran bagi kelompok lain, teologi yang mereka yakini itu adalah pemaknaan subjektif dan intersubjektif, bukan realitas faktual yang bisa disepakati semua pihak seperti fakta gravitasi.
Hal yang bermakna bagi kita belum tentu juga bermakna bagi orang lain, sekalipun makna itu sebuah teologi, ritus, atau doktrin agama.
Dari perspektif pengamat, berbagai teologi dan wawasan dunia tidak memiliki ukuran yang sama. Mereka mengembangkan berbagai strategi pemaknaan dunia. Meski klaim mereka absolut dari perspektif pemeluk mereka karena dihayati sebagai pengalaman makna dan bukan sekadar pemaknaan, mereka tetap relatif dan partikular di hadapan kemajemukan agama dan wawasan dunia.
Semacam kesepakatan ‘universal’ yang sangat longgar dan sangat lunak bisa dicapai di antara berbagai strategi pemaknaan dunia itu, entah itu berupa mitos, teologi, ritual, tradisi, dan seterusnya.
Teolog Katolik Jerman Hans Küng, misalnya, telah berupaya menemukan titik interseksi agama-agama monoteis dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Timur dalam apa yang disebutnya Weltethos (etos dunia).
Tentu saja interseksi seperti itu, jika terwujud dalam kenyataan, merupakan hasil pencapaian peradaban yang akan memerlukan waktu sangat lama. Interseksi semacam itu telah dicapai dalam konsep hak-hak asasi manusia universal.
Sementara Weltethos adalah kesepakatan ‘tebal’ karena menyangkut dimensi religio-kultural, hak-hak asasi manusia adalah sebuah kesepakatan ‘tipis’ yang hanya menyangkut dimensi legal-politis.
Menurut saya konsep tentang agama sebagai warisan kultural milik bersama lebih condong ke dimensi religio-kultural daripada ke dimensi legal-politis.
Tetapi sekali lagi, konsep-konsep seperti Weltethos, hak-hak asasi manusia, dan warisan kultural bersama umat manusia adalah pemaknaan-pemaknaan. Tiga konsep itu adalah konstruksi-konstruksi intelektual modern yang membantu kita untuk mewadahi kemajemukan secara bijaksana.
Mereka bukan fakta ilmiah, maka tidak berciri faktual, melainkan normatif. Mungkin ada sejumlah besar orang yang ikut merayakan hari-hari besar agama lain. Namun hal itu belum berarti bahwa konsep agama sebagai warisan bersama umat manusia sudah terwujud.
Di masyarakat kita, misalnya, tiap tahun berulang larangan kaum konservatif Islam untuk mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Bagi mereka agama lain tampak lebih sebagai ancaman daripada sebagai warisan bersama umat manusia yang bisa mereka nikmati.
Jika jumlah orang moderat menjadi mayoritas di dunia ini, konsep-konsep itu memang dapat mengartikulasikan posisi mereka. Namun hal itu belum berarti bahwa konsep-konsep itu adalah faktual.
Konsep-konsep tersebut masih normatif di hadapan fakta adanya kelompok-kelompok radikal dan anti-hak-hak asasi manusia yang bagaikan virus dapat menginfeksi segmen-segmen moderat dan pro-hak-hak asasi manusia.
Dari perspektif pengamat yang berjuang agar agama dapat dipandang sebagai warisan kultural umat manusia, kemajemukan merupakan fakta yang diterima dengan relaks.
Namun dari perspektif penganut paham radikal, kemajemukan tampak sebagai ketidakmurnian dan kebobrokan.
Selama kesenjangan perspektif itu ada, kita masih berjuang untuk moderasi dan toleransi dalam masyarakat kita yang majemuk ini, dan konsep agama sebagai warisan kultural umat manusia merupakan manuver intelektual untuk perjuangan itu.
Denny ingin kita demikian rumusan Gaus, “mengubah persepsi dari dogma menjadi budaya, dari doktrin menjadi peradaban”.
Relaks terhadap Kemajemukan
Di bagian akhir ini saya akan mengungkit implikasi pemikiran Denny bagi sikap kita terhadap kemajemukan.
Dari laporan Gaus ada tiga poin yang menarik untuk dikedepankan. Pertama, tingginya tingkat keberagamaan tidak menjamin rendahnya jumlah korupsi, tingginya IQ, majunya pembangunan, pencapaian indeks kebahagiaan yang tinggi.
Yang terjadi malah sebaliknya, yakni: tingginya jumlah korupsi, rendahnya kecerdasan, keterbelakangan, dan ketidakbahagiaan.
Kedua, agama memang bukan soal fakta historis, melainkan soal makna hidup. Fakta-fakta yang bertentangan bisa diabaikan, karena yang lebih penting daripada fakta adalah makna eksistensial yang diberikannya.
Dalam decentering of worldview agama menyangkut kebenaran makna subjektif dan intersubjektif, bukan kebenaran objektif yang bisa difalsifikasi.
Ketiga, kemajemukan interpretasi tidak terelakkan. Makna aslinya sudah berubah sejak ditinggalkan pendiri mereka. Yang tertinggal hanya interpretasi, interpretasi atas interpretasi, dan seterusnya.
Sikap apakah yang dapat diambil terhadap tiga poin itu? Marah dan menganggap hasil laporan itu menista agama? Bingung dan meninggalkan agama?
Menurut saya, sikap yang arif adalah relaks. Orang merasa relaks jika tidak mengukur kebenaran teologis pihak lain dengan teologi agamanya sendiri karena sadar bahwa teologi-teologi memang tidak memiliki ukuran yang sama, dan orang tidak perlu ngotot memaksa pihak lain untuk menerima ukurannya.
Kenyamanan kita terhadap agama kita sendiri dapat membantu orang lain untuk merasa nyaman dengan agamanya.
Sebaliknya, sikap ngotot dan fanatik mungkin malah lahir dari cognitive dissonance yang belum diatasi dalam penghayatan agamanya.
Kebenaran makna tidak perlu dipertengkarkan. Hal itu perlu ditafsirkan agar dapat memaknai hidup di tengah perubahan zaman.
Kita merasa relaks, jika menyadari bahwa kemajemukan tafsir bukan ancaman integritas iman, melainkan memperkaya hidup kita.
Jadi, orang perlu beriman, tetapi tidak dengan rasa takut kepada agama lain, melainkan dengan sikap relaks terhadap pluralisme keyakinan.
Tanpa berpretensi untuk membangun pemikiran sistematis dan filosofis, Denny lewat penelitiannya berhasil memahami bahwa locus philosophicus agama ada di dalam dunia makna.
Agama bukanlah sains dan tidak perlu berpretensi menjadi sains agar menjadi benar. Alih-alih menyingkap kebenaran faktual yang ilmiah, agama menyingkap kebenaran makna yang eksistensial dan spiritual untuk kehidupan kita.
Kitab suci juga bukan buku sains, seperti Origin of Species, melainkan buku iman. Para literalis skriptural akan mengalami cognitive dissonance saat menghadapi fakta ilmiah tentang evolusi dan teori Big Bang.
Jika tidak berhasil mencocok-cocokkan isi kitab suci dengan fakta ilmiah itu, mereka akan menambahi berbagai cerita agar fakta itu bisa dipaksa cocok dengan isi kitab suci.
Sebaliknya, para pascaliteralis tidak tegang dengan fakta itu. Mereka relaks karena menyadari dengan rendah hati bahwa kita belum tahu banyak secara faktual tentang asal usul segala sesuatu.
Segala yang ditulis dalam kitab suci bukan laporan historis tentang asal usul itu, melainkan makna fundamental yang menyingkapkan hubungan manusia dan penciptanya.
Saya perlu menambahkan hal lain di sini: Kita juga perlu relaks terhadap sains. Hal ini yang belum disampaikan Denny karena ia terlalu fokus pada agama, mungkin karena di Indonesia banyak yang mabuk agama.
Tapi bayangkan yang sebaliknya, yaitu pemujaan sains atau saintisme. Situasi itu belum kita alami, tetapi di era Google ini tidak sedikit juga para antusias sains yang meremehkan agama di negeri kita.
Saintisme bukan sains, melainkan keyakinan tentang sains sebagai kebenaran final dan tunggal. Ia mirip fundamentalisme agama, hanya saja objek keyakinannya berbeda.
Hidup ini dapat kita hayati dengan berbagai perspektif, sehingga kaya akan makna. Namun saintisme memiskinkan kekayaan perspektif itu pada satu-satunya perspektif yang dihasilkan oleh metode ilmiah.
Manusia dianggap tidak lebih daripada organisme alamiah, dan moral tidak lebih daripada alat kesintasan belaka. Jika masyarakat terpapar paham ini seperti di Eropa, krisis-krisis makna pun tidak terelakkan.
Max Weber dan para teoretikus kritis Jerman banyak memperingatkan bahaya itu. Jadi, relaks terhadap sains juga membantu kita untuk bersikap lebih manusiawi kepada manusia yang de facto tidak bisa kita ilmiahkan dan rasionalkan seluruhnya, karena mengandung dimensi-dimensi yang melampaui hal-hal yang dapat diobservasi secara ilmiah.
Di era Google ini kita tidak perlu terlalu tegang dengan berbagai perspektif yang bermunculan di layar gawai kita. Di layar itu, seperti juga dalam kehidupan nyata, agama, sains, atau ideologi bisa berebut perhatian kita agar dianut sebagai kebenaran final.
Periksa saja, apakah mereka fakta atau makna, pemaknaan atau pengalaman makna, perspektif pengamat atau perspektif peserta.
Tidak perlu marah atau gusar terhadap perbedaan. Juga tidak harus pihak lain setuju dengan pengalaman makna kita. Hal yang sangat bermakna bagi kita belum tentu bermakna bagi orang lain.
Perbedaan makna tidak harus dihilangkan, jika memang tidak bisa. Namun karena kita harus hidup bersama dengan damai, makna-makna lebih luas yang mewadahi kemajemukan makna, seperti Pancasila, hak-hak asasi manusia, dan “agama sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia” perlu dialami bersama, agar kita dapat relaks terhadap kemajemukan.
F. Budi Hardiman. Guru Besar Filsafat di Universitas Pelita Harapan. Penulis 16 buku filsafat, seperti "Memahami Negativitas", "Demokrasi dan Sentimentalitas", dan yang terbaru "Kebenaran dan Para Kritikusnya".
Pemikiran Denny JA soal agama yang dibahas oleh Dr. F. Budi Hardiman ada dalam karya Ahmad Gaus AF: Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.
Buku itu dapat dibaca dengan klik ini:
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF