Foto : Tangkapan layar rangkuman berita Denny JA |
JAKARTA, Clickindonesiainfo.id - Esensi agama itu adalah Tasawuf. Yaitu ajaran untuk membangun akhlak yang mulia dan membersihkan hati agar selalu penuh cinta dan kebajikan.
Namun dalam sejarah, esensi agama ini dikalahkan oleh orientasi kekuasaan para penganutnya. Akibatnya sejarah mengubah penganut agama menjadi identitas kelompok yang memisahkan kesatuan manusia untuk bersama hidup dalam kebajikan, melampuai sekat-sekat politik, ekonomi dan budaya.
Denny JA menyatakan ini
dalam sambutannya membuka diskusi Tasawuf, pada acara 1.000 Hari wafatnya guru komunitas Maiya, Buya Syaikh Muh. Nursamad Kamba di Jakarta pada Minggu (5 Maret 2023).
Dalam acara tersebut juga turut hadir, Mantan Menteri Agama, Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin, Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Oman Faturrahman, M. Hum, Santri Buya Kamba, Faried Wijdan.
Denny JA yang juga merupakan salah satu sahabat dekat keluarga Buya Kamba, mengangkat gagasan-gagasan Buya Kamba yang dikenang sebagai tokoh pemikir tasawuf.
Agamaku adalah cinta. Setiap hati manusia menjadi rumah ibadahku. Begitu penggalan puisi dari Jalaluddin Rumi yang dibacakan oleh Denny JA.
Menurut Denny, Rumi menyentuh kita untuk kembali kepada esensi agama. Bahwa datangnya agama itu pertama- tama untuk revolusi akhlak, agar kita terus menerus menghidupkan cinta dalam pikiran, ucapan dan tindakan.
Esensi agama itu adalah cinta, untuk memperkuat niat baik, membersihkan hati, dan menghayati hidup dalam kebajikan.
Dengan kembali ke esensi agama, itu membuat agama sangat relevan kapanpun, dimanapun, untuk siapapun.
Denny JA mengutip kisah selebriti dunia dari media New Yorker pada 2017 silam.
Saat itu, leading vocal grup band Cold Play, Chris Martin, sedang mengalami krisis eksistensial dan pencarian meaning of life.
Ia diberi buku oleh temannya. Itu buku mengubah hidupnya. Ternyata itu buku puisi Jalaluddin Rumi.
Ujar Chris Martin, derita yang aku alami saat itu juga bisa aku lihat dari perspektif yang berbeda.
Ini cuplikan puisi Rumi soal derita:
"Sambutlah derita yang datang padamu sebagai tamu kehormatan. Sangat mungkin derita itu datang membawa pesan Tuhan, untuk pencerahanmu. Kesadaran yang lebih tinggi justru datang melalui lukamu.”
Dikatakan Denny JA, puisi Jalaluddin Rumi memang sangat populer di era modern di Amerika Serikat.
"Rumi bahkan lebih populer di Amerika Serikat dibanding penyair terkenal Amerika Serikat sekalipun, seperti Walt Whitman, Robert Frost, Emily Dickinson. Itu terlihat dari jumlah bukunya yang dibeli setiap tahun," ujarnya.
"Puisi Rumi tak hanya dibacakan di Masjid, tapi juga di gereja, sinagog dan universitas," sambungnya.
Puisi Rumi tidak hanya dibaca oleh mahasiswa, sastrawan atau akademisi, tapi juga aneka artis Holywood.
"Rumi terasa membawa pesan soal cinta dan kebajikan universal. Itu pesan spiritual, inspirasi akhlak yang melampaui sekat agama, negara, etnis dan kelas ekonomi," katanya.
Memang ada kritik yang keras dari Omid Safi mengenai akurasi terjemahan puisi Rumi dalam bahasa Inggris dari bahasa aslinya Persia.
Ujar Omid Safi, di dunia barat, Rumi dilepaskan dari konteks agama Islam, agama asal Rumi. Karya Rumi bukannya diterjemahkan, tapi ditafsir ulang secara terlalu bebas agar sesuai dengan kultur barat.
Penerjemah Rumi dalam bahasa Inggris Coleman Barks dituduh telah melakukan universalisasi pesan dan liberalisasi terhadap puisi Rumi.
Ujar Denny JA, “tak hanya teks puisi Rumi yang bisa berbeda jika ditafsir secara berbeda. Kitab suci pun tampil secara berbeda jika juga ditafsir berbeda," ujarnya.
Denny JA menjadikan kasus tatsir puisi Rumi untuk membahas buku Nursamad Kamba: Mencintai Allah Secara Merdeka (2020).
Menurutnya, Nursamad berhasil membangun komunitas tasawuf Maiya. Pemikiran dan buku hasil karya Nursamad mejadi pedoman komunitas ini.
"Dalam buku itu, Nursamad Kamba banyak menguraikan pentingnya mengembalikan tafsir Islam sebagai agama akhlak. Dijelaskan pula sejarah pertarungan tafsir di era awal Islam dalam buku itu. Termasuk suasana sebelum kelahiran Islam.”
Disampaikan Denny JA, pada awalnya Islam itu agama akhlak. Banyak ayat-ayat Quran tentang pesan membangun akhlak yang mulia.
"Buku karangan Nursamad ini mengutip banyak ayat Quran dan Hadis yang menegaskan itu," jelasnya.
Antara lain: Hadis HR AR-Bukhori, tentang tugas Nabi Muhammad: “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan ahlak yang mulia, budi pekerti yang luhur.”
Juga Quran, Surah Al-Anbiya 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta Alam.
Pun di Quran, Surah Al Baqarah 148: “Bagi tiap tiap umat ada Kiblatnya sendiri, yang ia menghadap kepadanya. Dan berlomba-lombalah dalam membuat kebajikan.
Dalam buku ini ditegaskan, tasawuf bukan hanya salah satu cabang dalam ajaran Islam. Tasawuf itu sendiri sebuah jalan atau pandangan hidup yang holistik.
"Tasawuf itu jalan hidup yang terus menerus menyucikan jiwa, membersihkan hati, menyerukan kebaikan, dan mengalami kebersamaan dengan Allah," katanya.
"Tasawuf tak hanya untuk mereka yang secara formal beragama Islam. Tapi ini sikap hidup yang dapat dipeluk oleh siapapun. Apapun agama," sambungnya.
Ujar Denny JA, saatnya kita kembali memperkuat agama untuk kembali kepada esensinya. Yaitu agama untuk membangun akhlak yang mulia. Agama cinta. Itulah esensi agama, spirit awal dari agama. (ari)