Iklan VIP

Redaksi
Rabu, 22 Maret 2023, 08:24 WIB
Last Updated 2023-03-22T01:30:47Z

Beragama Tanpa Peran Ulama, Pendeta dan Biksu : Mungkinkah ?


Oleh : Denny JA

Akankah tiba tahap itu? Yaitu era pertumbuhan agama, pencarian spiritual individu yang tak lagi memerlukan  peran ulama, pendeta dan biksu?

Renungan ini yang  datang setelah membaca penggalan tulisan Friederich Affolter (2015). Ia menulis soal agama Bahai di Iran.  (1)

Menurut Affolter, dalam agama Bahai, sejak pertama kali kelahirannya di  tahun 1844, di Iran, sang pendirinya menyatakan:

“Kita memasuki zaman pencerahan yang sudah matang bagi pertumbuhan individu. Karena itu, para individu itu perlu mencari kebenaran, jalan agama, jalan spiritualnya sendiri, secara mandiri, melalui elaborasinya sendiri.

Peran mediator seperti ulama, pendeta dan biksu tak lagi diperlukan sebagai otoritas spiritual. Semua penganut agama sama posisinya, setara, sama rendah dan sama tinggi.

Hanya satu kata spontan yang berbunyi di mulut saya: Wow!!! 

Tapi mungkinkah itu? Mungkinkah beragama tanpa ulama, pendeta dan biksu?

Sayapun menganalisa dan menelusuri data. Di tahap ini, ajaran apapun dari agama, dan dari agama manapun, saya lihat sebagai konstruksi sosial.

Maka sampailah saya pada pertanyaan. Kondisi sosial bagaimana yang memerlukan peran ulama, pendeta dan biksu? Serta konteks masyarakat yang bagaimana pula yang membuat peran ulama, pendeta dan biksu itu bisa tak lagi diperlukan?

Dua saja data yang saya cari: prosentase buta huruf dalam sejarah, dari abad ke abad. Dan teknologi tinggi untuk menggandakan serta menyebarkan informasi.

Ternyata sampai  dengan abad 14, jumlah penduduk dunia yang bisa membaca dan menulis hanya 10 persen saja. Sebanyak 90 persen warga dunia kala itu masih buta huruf.

Bahkan di era kerajaan Roma sebelum kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus), yang bisa membaca dan menulis hanya 3 persen penduduk saja.

Mesin cetak pun baru ditemukan Guttenbergh di tahun 1450. Sebelum ada mesin cetak, setiap kitab suci atau buku hanya disalin tangan. Peredaran kitab suci dan buku akibatnya sangat, sangat dan sangatlah terbatas.

Jika itu konteks sosialnya, hingga abad ke 14,  mayoritas  warga, tak punya akses kepada kitab suci dan buku penting. Kopi kitab suci dan buku pengetahuan tak pula tersedia luas.

Dalam konteks seperti ini, peran ulama, pendeta dan biksu menjadi sentral dan maha penting. Hanya kelas ini yang memperoleh akses dan bisa memahami kitab suci dan buku pengetahuan.

Tanpa peran ulama, pendeta dan biksu, mayoritas publik yang tak bisa membaca tak bisa memperoleh pencerahan dari pesan-pesan agama dan pengetahuan.

Sebelum abada 14, kita harus berterima kasih kepada ulama, pendeta dan biksu di era itu. Besar sekali peran mereka mengubah kesadaran publik luas.

Memang terjadi pergeseran peran ulama, pendeta dan biksu. Awalnya mereka hanyalah penyampai pesan agama dan pengetahuan.

Namun karena publik luas tak memiliki informasi pembanding, perantara ini menjelma memiliki otoritas spiritual. Ulama, pendeta dan biksu menjadi sebuah kelas sosial tersendiri, yang  mempunyai surplus kekuasaan.

Mereka pun dipersepsikan dan dimitoskan menjadi pengganti Nabi. Bahkan mereka seolah paling tahu kehendak Tuhan. 

Dalam sejarah, kita tahu pula, kekuasaan ulama, pendeta dan biksu ini sering disalah gunakan.

Di abad 15, bahkan Martin Luther sudah melawan kelas pendeta di kepausan. Para pendeta mengumpulkan uang, dengan menjual surat pengampunan dosa kepada publik luas. 

Martin Luther termasuk yang pertama-tama menyerukan setiap individu jangan bergantung pada pendeta untuk pemahaman agama.

Kini zaman sudah berubah. Kemampuan publik luas meningkat pesat. Teknologi juga membawa suasana baru.

Di abad 21, prosentase penduduk yang bisa membaca dan menulis di dunia maju hampir 100 persen. Sementara di dunia berkembang, mayoritas penduduk hingga 87 persen juga bisa membaca dan menulis.

Mesin cetak bukan saja sudah bisa menyebarkan jutaan buku. Sudah ada pula internet, yang menyimpan aneka informasi, lebih besar dari perpustakaan manapun dalam sejarah.

Sebanyak 65 persen penduduk dunia kini mengakses internet. Mudah sekali setiap individu membanding-bandingkan aneka informasi, mulai dari tafsir kitab suci hingga penemuan arkeologi yang menafsir ulang kisah sejarah dalam kitab suci.

Mudah sekali bagi siapapun untuk membanding- bandingkan tafsir agama yang beragam, dari yang paling kiri hingga paling kanan.

Di era seperti ini, memang sudah cukup matang bagi individu untuk mencari jalan kebenaran secara mandiri. 

Individu tak lagi memerlukan otoritas spirtual, yang seolah menjadi juru bicara nabi atau Tuhan. 

Di titik inilah, peran ulama, pendeta dan biksu memudar. Agama berevolusi ke tahap zaman yang lebih mengagungkan kedaulatan individu untuk urusan spiritual sekalipun.

Yang dibutuhkan setiap individu di era ini hanyalah kawan untuk diskusi, bertukar pengalaman dan pemahaman. 

Apalagi ini era dimana setiap individu dilindungi hak asasinya. Ia bisa memilah sendiri dan memilih dari 4300 agama yang ada, dari puluhan tafsir yang ada, yang mana yang ia anggap sesuai dengan gaya hidup dan selera berpikirnya.

Dua individu dalam agama yang sama juga tak perlu berujung pada pemahaman agama yang sama. Riwayat hidup dan cetak batin setiap individu juga tak sama. 

Mereka pun menghadapi kondisi sosial yang tak sama. Mengapa pula mereka harus memiliki tafsir agama yang sama?

Tapi bukankah setiap komunitas agama memerlukan organisasi? Benar! Betul.

Tapi yang dibutuhkan komunitas itu lebih sebagai manajemen dan administrasi modern. Pengurusnya dipilih secara berkala oleh komunitasnya sendiri. 

Posisi para pemimpin agama ini  bisa berjenjang dari tingkat komunitas kecil, hingga nasional dan internasional.

Organisasi jenis ini  cukup hanya memiliki otoritas manajemen, tapi tak punya otoritas spiritual. Pada tingkat individu itulah otoritas spiritual berada.

Agama bahai sendiri sudah berjalan selama 180 tahun. Dalam doktrin agama mereka, memang secara sengaja mereka tak memberi tempat kepada perantara seperti ulama, pendeta dan biksu.

Tak ada sejenis ulama, pendeta atau biksu dalam agama bahai.

Agama lain di luar bahai pada waktunya juga akan mengarah ke sini. 

Kedaulatan individu kini sudah didukung oleh teknologi informasi yang tinggi. Ini era yang sudah menyediakan ekosistem bagi kemandirian individu soal agama sekalipun.

Kita mungkin memasuki bab terakhir dari sejarah agama, yang perlahan tapi pasti tak memerlukan otoritas spiritual itu lagi. Ulama, pendeta dan biksu akan tetap hadir. Tapi peran mereka tak lagi signifikan seperti di era sebelumnya.

Hari ini bersama kita merayakan Hari Raya Nawruz, tahun baru yang dirayakan penganut Bahai.

Selaku agama yang sangat baru, usianya belum 200 tahun, agama Bahai menyebar luaskan banyak gagasan yang bahkan sangat dan sangatlah maju bagi telinga abad 21 sekalipun.

Dalam beberapa isu, agama Bahai memiliki ajaran yang kontras misalnya dengan agama Islam. Tapi bukankah memang setiap agama tak harus sama?

Hari ini, kembali komunitas Esoterika kumpul di sini. Kita tradisikan itu: merayakan hari agama apapun dan juga hari hak asasi manusia, hari emansipasi wanita, secara bersama, lintas agama.

Ini kita lakukan karena di negeri Pancasila ini, kita mengapresiasi semua agama dan kepercayaan sebagai kekayaan kultural milik kita bersama. 

Walau berbeda, kita meyakini. Bahwa kita bisa disatukan oleh esensi yang sama dari setiap agama Yaitu seruan kepada kebajikan, keadilan dan compassion.

Zaman terus berubah. Berubah pula cara kita memahami hidup. Berubah pula cara kita beragama. 

1. Penjelasan soal agama Bahai dan mengapa terjadi persekusi di Iran:

Affolter, Friedrich W. (2005). "The Specter of Ideological Genocide: The Baháʼís of Iran" (PDF). War Crimes, Genocide and Crimes Against Humanity. 1 (1): 75–114. Archived from the original (PDF) on 2007-11-27. Retrieved 2010-01-23.

*Ini transkripsi dari pidato Denny JA di komunitas Bahai dalam Forum Lintas Agama Esoterika Merayakan Hari Raya Agama Bahai, Selasa 21 Maret 2023.

Publisher : Joko Santoso