foto : istimewa |
JAKARTA, Clickindonesiainfo.id - Ganjar Pranowo unggul di kalangan pemilih Nahdlatul Ulama (NU). Demikian hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dipresentasikan Prof. Saiful Mujani pada program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Capres Pilihan Warga Nahdlatul Ulama” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 23 Februari 2026.
Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/WQ1GvxveqHY
Hasil survei yang dilakukan pada Desember 2022 itu menunjukkan jumlah warga NU sekitar 20 persen. Dalam survei ini, distribusi suara massa NU (anggota aktif maupun anggota tapi tidak aktif) lebih dominan ke Ganjar. Ada 47 persen anggota NU aktif yang memilih Ganjar, Anies Baswedan 18 persen, dan Prabowo Subianto 24 persen. Sementara anggota NU tapi tidak aktif, 46 persen memilih Ganjar, 23 persen memilih Anies, dan 27 persen mendukung Prabowo.
“Di mata jemaah NU atau massa NU, orang yang paling kuat itu pertama adalah Ganjar. Kedua adalah Prabowo dan terakhir Anies,” kata Saiful.
Saiful menjelaskan bahwa NU adalah organisasi yang cukup solid dan cukup besar di Indonesia. Oleh karena itu punya nilai elektoral yang penting dalam politik kita, termasuk dalam pemilihan presiden.
Yang juga menarik dan perlu dicatat, menurut Saiful, adalah sepanjang pemilihan presiden secara langsung, 2004 sampai sekarang, tidak banyak tokoh NU yang menjadi calon kuat. Bahwa kita menemukan di lapangan NU itu besar secara elektoral, pemilih dari kalangan NU itu banyak, tapi itu tidak disertai dengan lahirnya tokoh-tokoh NU yang potensial menjadi presiden.
Pada pemilihan presiden langsung 2004, calon presiden dari NU ada Hamzah Haz berpasangan dengan Agum Gumelar. Pasangan ini mendapat suara yang sangat kecil, tidak sebesar massa NU.
“Artinya pemilih NU belum tentu memilih tokoh yang berasal dari NU itu sendiri,” kata pendiri SMRC tersebut.
Kedua, Pilpres 2009. Jusuf Kalla yang maju sebagai calon presiden. Jusuf Kalla juga adalah tokoh NU senior dan diakui. Dia tidak mendapat suara yang signifikan juga, jauh di bawah suara NU itu sendiri. Artinya, menurut Saiful, masa pemilih NU punya pertimbangan yang menarik dan unik. Mereka tidak niscaya secara emosional akan mendukung atau memilih tokoh NU karena dia sebagai seorang NU.
“Hanya karena dia tokoh NU belum tentu publik NU memilihnya,” lanjutnya.
Bahkan Hasyim Muzadi dalam posisi Ketua Umum PBNU dan Ibu Megawati sebagai incumbent pada Pilpres 2004 juga kalah. Menurut Saiful, massa pemilih NU cukup independen dalam pemilihan presiden, tidak bisa dimobilisasi begitu saja dari atas ke bawah atau top down.
Saiful menyebut tentang pandangan bahwa yang memiliki massa sebenarnya adalah kiai, bukan NU itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatannya adalah tidak bisa secara formal kepada NU, tapi pada kiai yang sangat beragam dan sangat otonom.
Saiful mencontohkan bagaimana Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, datang pada kiai yang senior lalu salaman dan cium tangan. Itu, menurut dia, menunjukkan bagaimana pentingnya para kiai di lingkungan NU. Para santri juga demikian, mereka lebih lebih terikat dengan kiai lokal ketimbang pada organisasi yang disebut sebagai Nahdlatul Ulama.
Oleh karena itu, lanjutnya, bisa dipahami apabila secara politik dalam pemilihan presiden tidak mudah untuk menarik massa NU. Yahya Staquf bahkan berkali-kali mengatakan NU tidak berurusan dengan politik. Dia ingin membangun jarak. Kalau mau disebut dekat, ya dekat dengan semuanya. Kalau mau jauh, ya jauh dengan semuanya. Tidak ada hubungan khusus secara politik antara NU dengan semua partai politik, termasuk dengan PKB. Walaupun PKB didirikan oleh KH Abdurrahman Wahid dan sejumlah kiai senior NU.
“Massa NU adalah massa yang cukup independen, tidak bisa dengan mudah dimobilisasi dengan mengatakan ini tokoh NU,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.
Dalam pelbagai survei, ada tiga tokoh yang kompetitif untuk pemilihan presiden: Anies, Ganjar, dan Prabowo. Ketiga tokoh ini secara kultural bukan orang NU. Walaupun mereka mungkin melakukan praktik ritual keagamaan seperti orang NU, tapi secara formal mereka bukan anggota NU.
Saiful memberi catatan bahwa pada survei ini, Anies kurang kuat di jamaah NU. Karena itu, jika ada upaya untuk menarik tokoh NU seperti Khofifah Indar Parawansah untuk bergandengan dengan Anies, itu cukup masuk akal karena bisa saling melengkapi.
Saiful menambahkan bahwa data ini menarik karena memperlihatkan bagaimana orang NU lebih memilih Ganjar yang nasionalis dibanding Anies yang lebih dekat ke kelompok Islam. NU adalah organisasi santri, sementara Anies terlihat lebih santri daripada Ganjar, tapi anggota organisasi santri ini justru lebih memilih tokoh yang bukan santri.
Saiful menjelaskan bahwa sejak awal NU lebih dekat dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) daripada dengan partai Islam seperti Masyumi. NU juga lebih dekat dengan PNI daripada dengan Muhammadiyah. Bahkan dalam sejarahnya, awalnya NU adalah bagian dari Partai Masyumi, namun kemudian keluar menjadi partai tersendiri. Saiful menyebut bahwa tahun 60-an, NU adalah salah satu partai andalan Soekarno. Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno, tapi Partai NU tidak. Bahkan menjadi semacam partnernya. Sejumlah tokoh NU bahkan pernah punya gagasan untuk menjadikan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Ada sentimen dan kedekatan kultural antara NU dan kekuatan politik nasionalis.
Kemungkinan penjelasan lain terhadap kedekatan NU dengan kelompok nasionalis, menurut Saiful, adalah karena baik tokoh-tokoh NU maupun tokoh-tokoh partai nasionalis seperti PNI atau PDIP berpusat di Jawa. Masyumi kurang berpusat di Jawa. Demikian pula dengan Muhammadiyah, walaupun lahir di Yogyakarta, lebih dominan di luar Jawa. Secara kultural kelompok Islam di luar Jawa tidak berafilisai politik dengan NU, tapi dengan partai lain seperti Masyumi, PPP, atau PAN.
Saiful menegaskan bahwa tipologi santri tradisionalis dan modernis cukup kuat. Dua kecenderungan ini, menurut dia, tidak mudah bersama-sama. Ini salah satu penjelasan mengapa orang NU cenderung memilih Ganjar yang nasionalis dibanding Anies yang dekat dengan kelompok santri modernis.
“Kita melihat orang NU, secara politik, lebih bisa bekerja sama dengan orang nasionalis ketimbang dengan orang modernis,” jelas penulis buku Muslim Demokrat itu.
Sementara anggota aktif Muhammadiyah juga cenderung memilih Ganjar 46 persen, disusul Anies 33 persen, dan Prabowo 14 persen. Berbeda dengan NU, pada anggota Muhammadiyah, pemilih Anies lebih banyak dibanding Prabowo Subianto.
Sementara warga yang mengaku aktif di organisasi masjid lebih banyak yang memilih Anies 33 persen, disusul Prabowo 32 persen, dan Ganjar 23 persen. Pada anggota aktif majelis taklim, pilihan mereka cukup seimbang di antara tidak nama tersebut: Ganjar mendapatkan dukungan 31 persen, Anies 31 persen, dan Prabowo 26 persen. (ari)